Kamu Bukan Maling, Tatyana!

Edwin Parawangsa

Saya bingung. Tidak tahu harus berbuat apa untuk mengurungkan niat gadis itu meninggalkan Makassar. Tapi, sepenuhnya saya sadari kalau cewek blaster itu punya problematik kejiwaan yang sangat kronis.

Kadang-kadang saya tidak habis pikir, bagaimana seorang gadis kaya dapat melakukan hal yang sangat kontras dan ironis. Mencuri. Ngutil! Bah, tidak masuk akal! Padahal, apa sih yang kurang pada kebendaannya?! Dia punya segala-galanya. Uang sakunya, wow, jangan ditanya. Melebihi gaji sebulan pesuruh kantoran.

Namun ajaibnya, dia pengutil. Tentu saja perbuatannya itu bikin malu orang tuanya. Sudah kejadian empat kali ayahnya dipanggil ke kantor swalayan yang barangnya kecolongan itu.

Dan….

“Win….”

Saya tergeragap. Rupanya saya melamun tanpa menyadari kalau saat ini dr Andi Riani Rustam tengah berhadapan dengan saya.

“Melamunkan siapa, sih?” Kakak perempuan Andi Riana Rustam, teman sekelas saya, itu menggoda.

“Ti-tidak, Kak. Saya tidak melamunkan siapa-siapa, kok,” elak saya berdusta. Saya panggil dia ‘Kak’. Bukan ‘Dok’. Kami sudah akrab layaknya kakak-adik. Makanya saya ceritakan semua perihal Tatyana Romanov kepadanya.

“Si Tatyana bagaimana?”

Mata saya membola. Menyambut antusias pertanyaannya. Ini tujuan saya ke rumah Riana. Saya pernah menceritakan perihal Tatyana kepada Kak Riani. Saya pernah menceritakan perihal Tatyana kepadanya. Tentang problematik kejiwaannya yang sangat ganjil di pengertian saya.

“Dia bersikeras ingin kembali ke Praha, Kak,” ujar saya pelan. “Katanya, dia sudah tidak dianggap di sini.”

“Itu bukan jalan penyelesaian yang baik,” cetusnya dengan dahi mengerut.

Saya mengangguk getas.

“Kamu tidak berusaha mencegahnya, Win?”

“Sudah berulang kali. Tapi….”

“Kalau menurut Kakak sih, dia sudah berada dalam kondisi yang sangat labil.” Kak Riani menyalibi jawaban saya. Diteguknya lemon-tea yang barusan ditaruh di atas meja oleh Riana sebelum masuk ke dalam rumah untuk meneruskan menonton acara drama Korea Endless Love di salah satu stasiun TV. Dia menawari saya minum. Tapi perhatian saya lebih tersita ke pasal Tatyana.

“Maksud Kakak?”

Dia meletakkan cangkir tehnya. “Pada saat kritis seperti itu, Tatyana seharusnya mendapat perhatian yang lebih bersifat irasional ketimbang rasional. Maksudnya, pengarahan dilakukan secara persuasif, dan bukan menghakimi seperti memaki-maki, terlebih-lebih mempermalukan karena melihat konteks kronologis pada saat kejadian.”

“Nyatanya….”

“Itulah, Win.” Kak Riani menyalib, tampaknya sudah tahu kalimat apa yang hendak saya lontarkan. “Banyak dari kita belum tahu apa sebetulnya kleptomania itu. Akibatnya, kita main hakim sendiri. Padahal, sebetulnya si Kleptomania itu sendiri tidak menyadari kalau sedang melakukan hal-hal yang dianggap perbuatan memalukan dan kriminal.”

“Sebenarnya kleptomania itu apa sih, Kak?” tanya saya serius.

“Sebetulnya kleptomania itu  merupakan kelainan jiwa. Tapi, perlu kamu ingat kalau kelainan ini tidak tergolong dalam perilaku egosentris dan antisosial. Anu, itu lho… sebangsa orang yang suka ketawa-ketiwi sendiri.” Kak Riani tertawa dengan mimik jenaka, berusaha meringankan suasana. “Jadi, bukan orang gila.”

Saya turut tertawa.

Comment