Bidadari dari Langit

Foto: Effendy Wongso, Model: Iin Mutmainah

“Zal, tadi ada telepon untukmu,” Mama menghentikan gerak kaki Zaldi yang baru menapaki dua-tiga anak tangga menuju kamarnya di atas loteng.

Sesaat Zaldi menoleh. “Siapa?” tanyanya sambil lalu. Biasanya Anton menelepon sore hari. Hm, tumben pagi-pagi dia hendak berkicau lewat horn, Zaldi bergumam. “Anton kan, Ma?” tembaknya yakin. Menyebutkan nama teman sefakultasnya di Sastra.

Wanita setengah baya itu menggeleng. Tangannya masih belepotan busa-busa sabun. Tersampir kain putih celemek di perutnya. Nampaknya ia belum merampungkan cucian piring dan gelas kotor di dapur.

“Bukan,” pintasnya.

Zaldi mengernyitkan kening. Pikirannya menerka siapakah gerangan si Penelepon. Seingatnya, selain Anton, tidak ada teman-teman lain yang meneleponnya. Kalaupun ada, pasti pada saat menjelang final, menanyakan ini-itu kepadanya. Hm, jadi siapa, ya?

“Cewek, katanya teman kuliah Kak Zal.” Sebait kalimat melantun dari ruang makan. Rizka yang bicara. Adik perempuannya.

“Siapa?” Zaldi penasaran, bergerak turun dengan langkah tergesa. Tangannya memegang erat balok kayu diagonal pegangan tangga. Sementara, tangannya yang satu masih memegang Madah Bakti.

“Mama tidak tahu, Zal. Tuh, adikmu yang menerima tadi,” Mama menjawab sambil melangkah masuk ke ruang dapur.

“Cewek? Siapa namanya, Riz?” Zaldi tertatih ke ruang makan, menghampiri adiknya yang tengah menyantap nasi goreng. Dilongoknya sebentar tadi ke ruang tamu, Papa membaur dengan koran Minggunya.

“Lho, lho?” Rizka menggoda. Matanya mengerling nakal. Mulutnya masih penuh dengan nasi. “Kok, antusias banget sih?” tanyanya tengil setelah menelan nasi yang menggumpal di mulutnya tadi.

“Siapa, Riz?!” Zaldi sudah tidak sabaran. Dibentaknya keras-keras adiknya itu. Matanya penuh dengan sinar ancaman.

Rizka ngeri. Disadarinya kalau kakak sulungnya itu marah. Harimau Sumatera pun perlu mikir tujuh kali bila ingin menerkamnya.

“Namanya, M-A-U-R-E-N!” Diejanya nama si Penelepon tadi setelah melihat pias-murka yang membalut di wajah Zaldi.

Mauren?! Maurentina Giswara?!

Dan Zaldi tersentak ke belakang. Si Manis yang mempunyai nama seindah berlian itu menyebabkan tubuhnya panas-dingin. Nyaris dijatuhkannya jambangan antik di belakang akibat kegugupannya. Pun Madah Bakti yang dipegangnya hampir jatuh kalau saja ia tidak refleks lekas menangkapnya.

Rizka cekikikan melihat kekikukan kakaknya yang masih sorangan itu. Yang menurutnya kuper-norak-udik-kampungan-ketinggalan zaman! Padahal, Zaldi sebenarnya memiliki rahang yang bagus dan kukuh. Ia pun memiliki sorot bola mata bening-berkilau. Lagipula ia jenial. Jadi apa lagi? Malah, sekilas ia mirip Tom Cruise. Duh, pokoknya keren dan macho banget! Tapi, kenapa ya ia risih dan minder begitu kalau ada teman cewek yang mendekatinya? Apakah lantaran….

Lamunan Rizka buyar akibat satu tepukan yang cukup keras mendarat di bahunya. Ia meringis dengan mimik jenaka. Khas dara usia belasan. Kolokan.

“Ma-Mauren bilang apa?” Zaldi tergeragap, bertanya. Intonasinya getas. Dan ia menarik kursi yang berada di dekat Rizka. Duduk di sana kemudian.

Rizka merekahkan senyum nakal. Ia pura-pura terbahak kecil, lantas menjawil setangkup roti tawar berselai-stroberi.

Zaldi menunggu. Kali ini ia tidak mau mendesak adiknya, supaya tidak menimbulkan curiga. Ia malu kalau alur percakapan sudah mengarah ke hal-hal anak muda dan gadis-gadis. Ia mesti hati-hati sekali.

Rizka nakal. Ia belum bicara sepatah kata pun. Sengaja ia menggantung begitu. Ia ingin sekali melihat wajah kakaknya memerah-padam.

Zaldi keki dibuat begitu oleh adiknya yang doyan makan (pantas ia gendut bak panda). Sudah bolak-balik tangannya sibuk menuangkan botol instant-milk ke gelasnya. Tapi Rizka belum ngomong. Sampai isi gelasnya tandas sekalipun, Rizka tetap membisu. Asyik mengunyah rotinya.

Comment