Bidadari dari Langit

Foto: Effendy Wongso, Model: Iin Mutmainah

“Kenapa, Zal?!” Mauren gusar. Dicekalnya lengan Zaldi dengan kasar. Disentaknya keras kemudian. “Jelaskan! Kenapa?!”

“Sori, Ren. Aku masih banyak urusan di perpustakaan.”

“Tunggu, Zal! Apa aku salah bila menelepon kamu?”

“Tidak. Kamu berhak, kok.”

“Tapi….”

“Aku tidak suka. Itu alasanku. Titik.”

“Sebabnya apa?” tuntut Mauren gamang. Ditegarkannya hati agar tidak menitikkan airmata di depan Zaldi, yang kini teramat angkuh di matanya.

“Terlebih dulu aku pingin tahu, buat apa kamu nelepon-nelepon segala?” Zaldi mendengus keras di akhir kalimatnya.

Mauren tergugu. Seribu jarum berbisa serasa menusuk ulu hatinya. Haruskah aku berterus terang?! sesalnya dalam hati.

“Untuk apa, Ren?” Ketus Zaldi menuntut, terdengar amat diplomatis-menyakitkan. “Heh, kamu tidak bisa menjawab?”

Tak terbendung lagi air mata Mauren. Ditangkupinya wajahnya yang sembap dengan kedua belah telapak tangannya. Giris ia terisak.

“Kamu tidak punya perasaan, Zaldi!” jeritnya pilu. “Ha-haruskah aku katakan cinta kepadamu?!”

Zaldi tercenung. Kepalanya pening seolah dikitari beribu kunang-kunang. Hah?! Mauren mencintaiku?! Mencintai seorang pemuda cacat yang bernama Zaldi Gunawarman?! Oh, oh! Ia serasa bermimpi!

“Ak-aku….” Zaldi tergagap luar biasa. Entah ia harus bilang apa.

“Sori, Zal. Tidak pantas semestinya aku mengungkapkan perasaanku kepadamu. Ta-tapi… aku terpaksa. Aku iba kepadamu!”

Zaldi tersenyum sinis. “Terima kasih, Ren. Beribu terima kasihku untukmu, yang mau mencintai pemuda cacat semacam aku!” ujarnya dingin. “Tapi maaf, kegagalan demi kegagalan telah mengajariku untuk dapat menerima kenyataan. Bahwa seorang cacat semacam aku harus tahu diri, dan tidak berharap banyak!”

“Ta-tapi… aku mencintaimu!” sergah Mauren datar.

“Karena belas kasihan, kan?”

“Ak-aku….”

“Ah, sudahlah, Ren. Simpan saja cintamu untuk yang lain. Bukannya sama aku yang cacat begini!”

“Begitu mahalkah harga dirimu, Zal?”

“Mungkin, mungkin sebagai seorang cacat aku harus memiliki harga diri yang tinggi. Toh, pengalaman telah mengajariku pula kalau di dunia ini nyaris tidak ada sesuatu yang berlandaskan tanpa pamrih. Apa pun bentuk dan namanya!”

“Kamu minder?! Atau, terobesesi trauma masa lalu?”

“Hm, tepat! Kedua-duanya, mungkin.”

“Tapi ketahuilah, aku termasuk yang ‘nyaris’ itu.”

“Oya? Maybe-maybe.”

“Zaldi…?!”

“What?”

“Percayalah. Aku bukan tipe cewek yang pernah menggurat trauma di hidupmu.”

“Mungkin, Ren.”

“Kamu tidak percaya kepadaku?”

“Aku percaya, Ren. Kamu baik. Sangat baik malah. Dan, yang pasti kamu mencintaiku! Tapi….”

“Tapi apa?”

“Cinta atas dasar iba? Hm, bagaimana ya?”

“Zaldi…!”

Zaldi tak menggubris jeritan Mauren. Ia terus saja melangkah menuju gedung perpustakaan. Tak juga dihiraukannya beberapa mahasiswa yang sedari tadi berkerumun menonton mereka. Ia harus ke ruang perpustakaan. Melakukan hal rutin. Larut dalam bacaan. Dan sesekali mengembarakan pikirannya ke belahan silam yang mengasyikkan.

Atau, menaruh harapannya di atas awan! Memimpikan seorang bidadari diturunkan dari langit khusus buatnya. Yang dapat mencintainya setulus hati. Bukannya atas nama iba!

Ya, ia mengharap. Entah sampai kapan.

Biodata Penulis:

Effendy Wongso, lahir di Bone, 13 Juni 1970. Cerpen-cerpennya tersebar hampir di seluruh majalah remaja nasional. Nominator Lomba Cipta Cerpen Remaja (LCCR) Anita Cemerlang empat tahun berturut-turut, sekaligus salah seorang pengarang paling produktif versi majalah Anita Cemerlang 1996 ini, pernah tercatat sebagai koresponden majalah Anita Cemerlang (1996-1998), pemimpin redaksi majalah Planet Pop (1999-2000), dan Redaktur Pelaksana di majalah Makassar Terkini (2008-2009).

Comment