Mata yang Melihat Cahaya

Mata yang Melihat Cahaya
Oleh Ganda Pekasih

MEDIAWARTA.COM – Santer terdengar di kampung Salimin akan dibangun salah satu masjid terbesar di dunia. Salimin mendengar dari tetangga-tetangganya yang bergunjing tentang masjid itu. Bahwa, masjid itu nanti kubahnya saja akan berlapis emas, lampu-lampunya terbuat dari kristal, dan pilar-pilarnya dilapisi marmer terbaik dari negeri-negeri Eropa. Arsitekturnya modern berkiblat Timur Tengah….

Salimin ragu, apa betul di kampungnya akan berdiri masjid sebesar itu, karena hampir setiap subuh saja dia tidak mendengar ada orang azan di kampungnya. Dia tahu orang-orang di kampungnya orang yang taat ibadah, mereka juga menjalankan salat lima waktu.

Tetapi saat salat subuh justru musala yang didatanginya sering terkunci rapat, gelap, tak ada suara yang menggemakan azan dan seruan-seruan kebesaran-Nya. Kalaupun suatu hari ada yang salat berjemaah, beberapa gelintir orang saja yang hadir, itu pun mereka yang sudah tua-tua yang sebentar lagi menemui ajalnya.

Padahal yang pernah didengar Salimin dari seorang musafir yang datang memberi tausiah di musala kampung mereka beberapa waktu lalu, sempurnanya salat lima waktu seorang hamba itu bisa dilihat dari salat subuhnya, dilakukan secara berjemaah dan dilaksanakan di masjid. Jika salat subuhnya belang-belang, kadang salat kadang tidak, dipastikan waktu-waktu salat lainnya pastilah akan mudah tergantikan urusan remeh-temeh dunia.

Rasa penasaran Salimin membuatnya mampir ke musala sore hari sehabis berjualan bersama istrinya, setelah disuruhnya istrinya pulang lebih dulu. Di halaman musala, orang-orang tengah ramai membicarakan rumah-rumah mereka yang setengah permanen akan diberi ganti untung melebihi harga pasaran. Bahkan, beberapa rumah yang dinilai letaknya strategis walau terbuat dari gedhek akan dibayar beberapa kali lipat.

Terdengar tawa-tawa gembira mereka yang ingin secepatnya membeli tanah di tempat lain untuk membuat usaha dan sebagainya. Kehadiran Salimin tak ada yang menggubris. Yang didengar Salimin kemudian, ternyata rumahnya tak masuk dalam wilayah yang dibebaskan. Itu berarti Salimin nanti akan bertetangga dengan masjid terbesar di dunia itu.

Rumah Allah yang sangat megah dan indah, bangga dan haru dirasakan Salimin dia akan salat di masjid itu dan mengikuti pengajian bersama jemaah lainnya. Ya, siapa yang peduli dengan Salimin yang bertongkat lagi miskin. Yang kerjanya hanya berjualan rujak bersama istrinya yang kurus dan penyakitan, yang lebih sering memikul kembali pulang jualannya hingga membusuk di rumah karena tak ada yang membeli.

Selesai salat, depan musala yang dilewati Salimin terasa makin sepi, berjalan pulang hati-hati mengayun tongkatnya. Rumahnya setengah batako setengah gedhek bambu, atapnya terbuat dari seng, jika siang hari terasa panas sekali. Jika hujan akan terdengar suara bising memekakkan telinga, tetapi lingkungan tempat tinggal Salimin

Seperti perumahan di belakang mini market tempatnya berjualan, jika banjir besar datang, air bisa naik setinggi pinggang orang dewasa. Padahal, sebelumnya perumahan itu tak pernah digenangkan air kalau musim hujan tiba. Salimin tiba di rumahnya ketika bahan-bahan rujak tumbuknya; pisang batu, jambu kelutuk bahkan cabai rawit, baru saja diantarkan beberapa tetangganya.

Comment