Selamat Ulang Tahun, Cinta

Foto: Effendy Wongso, Model Ilustrasi: Nasly Perosyah

Selamat Ulang Tahun, Cinta
Oleh Effendy Wongso

MEDIAWARTA.COM – Kalau sepagi ini terdengar riuh rutinitas di lantai bawah yang asalnya dari ruang dapur, tentulah bukan hal yang lumrah. Masih terlalu pagi. Bahkan, terlalu pagi sekadar menjalankan aktivitas semisal mengepulkan asap kompor buat sarapan sekalipun.

Tapi hari ini semuanya jadi aneh. Nyaris seluruh penghuni pondokan grasa-grusu seperti hendak menyambut kedatangan makhluk dari Planet Mars. Sibuknya luar biasa.

Acara tidurnya terganggu. Padahal, jarang-jarang ia memiliki waktu luang untuk dipakai tidur senyenyak-nyenyaknya. Masa liburan sebulan sekolah lalu pun tak pernah dikecapnya dengan nyaman seperti gadis-gadis penghuni pondokan lainnya. Sebab ia mesti kerja sambilan untuk menambah biaya sekolahnya.

Kesadaran yang datangnya dari lubuk hati atas kondisi keluarganya yang pas-pasan di daerah. Mungkin dia kurang beruntung terlahir dalam keluarga sederhana di Bandung, tapi ia masih tetap bersyukur karena terlahir dalam keadaan sempurna lahir dan batin.

“Ada kejadian apa sih, Al?” tanya Aretha kepada Alya, sahabatnya yang tinggal bersebelahan kamar dengannya. Sembari mengucek-ngucek mata, gadis yang masih mengantuk dan sesekali menguap itu bertanya sesaat setelah turun dari lantai atas. “Ada acara makan-makan ya, Al?”

Alya menggeleng cuek. Sama sekali tidak berminat menanggapi kebingungan Aretha. Pertanyaan gadis bertubuh mungil itu dijawabi dengan satu kibasan tangan. Dan gadis tajir asal Palembang itu terus saja bergelut dengan kegiatannya yang super-sibuk di dapur. Membersihkan piring-piring dan gelas-gelas yang sudah berdebu di lemari dapur, satu-satunya aset pondokan yang ditinggal pemiliknya untuk penghuni indekos.

Aretha masih tercenung di ujung tangga setelah turun buru-buru tadi dengan daster yang masih melekat di badan. Alisnya mengernyit. Diliriknya jam dinding yang tergantung di atas bingkai pintu utama pondokan. Jarum panjang masih menunjuk tepat di angka enam. Biasanya juga kalau jam-jam begini gadis-gadis itu masih pada ngorok. Ih, boro-boro bikin sarapan. Menyentuh air di kamar mandi saja rasanya ogah!

Tapi hari ini memang lain. Pasti ada ‘something wrong’. Kalau tidak, mana mungkin nona-nona tajir itu mau kompakan bangun pagi dan bersibuk-sibuk ria dengan senang hati di dapur. Tentu saja. Buktinya tadi, saking sibuknya, Alya yang nyinyir itu malah tidak punya waktu untuk menjelaskan ‘what happen in kitchen’.

“Al…”

“Sori. Aku sibuk.”

“Tapi….”

“Sudah deh, Tha. Kamu tidur saja sana. Jangan ganggu kita!”

“Aku bantuin, ya?”

“Jangan. Kita di sini tidak butuh PRT lagi.”

Aretha tersenyum geli. “Hei, emangnya aku babu apa?”

Alya hanya tersenyum sebentar sebelum melanjutkan kegiatannya yang ‘misterius’. Aretha mengedikkan bahunya tanda tidak mafhum. ‘Kita’ yang dimaksud gadis Palembang tadi adalah geng rumpi pondokan; Helen Jelita Datau, Lolita Amar Mahmud, Aulia Elsye Lontoh, Ningsih Primeswara, dan Alya Rahardi. Heh, sejak kapan nona-nona tajir itu tiba-tiba dengan suka rela tanpa dipaksa-paksa mau bekerja ala PRT?

Comment