Aku dan Niko

Foto: Dok Winsen Liang

Aku dan Niko
Oleh Joanna Octavia

MEDIAWARTA.COM – Sore berembus dengan lembut, membungkus diriku dalam hangatnya udara musim panas. Aku melepaskan sandalku dan menjinjingnya. Aku suka merasakan pasir-pasir lembut ini masuk ke sela-sela jariku, merasakan kakiku tertimbun olehnya. Deburan ombak yang berdesir mengikuti irama langkahku terdengar seperti musik di telingaku.

Di sebelahku, Niko menghirup dalam-dalam udara pantai yang segar dan basir asin. Rambutnya yang berwarna cokelat ditiup angin dan menari-nari menutupi sebagian wajahnya. Ia tidak berubah sama sekali sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Aku tidak dapat mengingat kapan terakhir kali aku merasa sedamai ini….

Aku pertama kali bertemu dengan Nicholas di pantai ini. Hari itu, Niko, begitu panggilanku untuknya, terlihat seperti mahasiswa Indonesia kebanyakan yang bersekolah di San Francisco. Dalam balutan jeans yang digulung sampai lutut dan kaus biru muda, ia terlihat santai dan tanpa beban. Dan justru hal itulah yang menarik perhatianku kepadanya.

Perkenalan kami berlanjut ke barter nomor handphone dan alamat, dan tidak lama kemudian kami pun menjadi sahabat karib. Kepadanya yang santai dan easygoing, aku dapat mencurahkan semua masalahku, terutama mengenai pacarku yang sedang bekerja di Indonesia.

Segala kekhawatiranku, kekesalanku, dan kecurigaanku pun dihapus Niko dengan mudah melalui canda tawa dan saran-saran yang diberikannya. Kepadanya aku juga menceritakan bebanku sebagai anak tertua di keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki sama sekali. Ini merupakan bebanku, bagaimana harus sekolah tinggi demi meneruskan usaha Papa, dan pada saat bersamaan menjadi teladan bagi adik-adikku yang sudah tidak memiliki seorang Mama.

***

“Tahu tidak, Sha, apa masalah kamu?” tanya Niko suatu saat dengan mimik yang lucu. Hanya dia yang dengan berani-beraninya memendekkan namaku, Sarah, menjadi ‘Sha’. Biar demikian, aku cukup menyukainya sih. Aku tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalaku.

“Kamu ini terlalu bagaimana ya, tidak santai! Kamu harus lebih terbuka sama orang lain, lebih easygoing…. Pernah tidak sih, semua yang kamu ceritakan kepadaku kamu ceritakan kepada pacarmu? Tidak pernah, kan? Kamu harus lebih banyak share sama dia. Wajar saja dia marah kalau kamu tidak suka cerita. Kalau begitu terus, dia akan jadi merasa tersisih, Sha,” sambung Niko panjang lebar.

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Benar juga, sih. Rio memang suka marah kalau aku menceritakan soal Niko, bagaimana dekat aku dengannya, dan bagaimana aku merasa bebas menceritakan masalah-masalahku. Atau, apa mungkin dia cemburu ya? Aku tertawa geli membayangkannya. Walaupun keren dan banyak cewek yang naksir, Niko itu cerewet sekali kepadaku, sampai-sampai terkadang aku menjulukinya ‘my sister’, habis dia seperti cewek, sih! Namun, aku yakin dia bukan gay karena ia pernah menceritakan kisah cintanya yang dulu kepadaku.

Comment