Aku Ingin Menikah

Foto: Istimewa

“Sayangku, dengan menikah bukan berarti kau akan terpasung bagai penjara. Tidak. Kau masih bisa beraktivitas seperti biasa. Yang berbeda hanyalah dimensi dan ruang yang berbeda pula. Kau masih akan memiliki waktu luang. Begitu pula sebaliknya dengan aku. Kita hanya perlu mengganti status kita yang lajang dengan suami bagi kau, dan istri bagi aku.”

Aku masih membaca suratnya dengan hati galau.

“Aku bisa membayangkan betapa bahagianya dapat memiliki kesempatan untuk berumah tangga. Betapa semua ini adalah anugerah yang tidak setiap orang mendapatkannya. Kau dan aku akan saling menyayangi. Saling berbagi. Saling bercengkerama. Dan mungkin saling bertengkar untuk memadukan ketidaksepahaman. Namun aku yakin, kita adalah pengawal dan penjaga hati bagi diri kita masing-masing. Kau akan merawatku, demikian pula sebaliknya. Aku akan merawatmu. Kita akan sehidup-semati!”

Aku terhenyak. Kalimat dalam suratnya menohok dadaku. Aku terlalu miskin untuk mewujudkan keagungan yang dikehendakinya!

“Sayangku, keinginan ini sesungguhnya sudah kupendam sejak lama. Namun, selama ini aku bagai pecundang yang tidak berani mengungkap. Hati dan batinku tidak akan pernah tenang selamanya. Bahwa hubungan yang telah kita bina selama ini akan tersuruk dalam limbah dosa. Bahwa hubungan yang telah kita rajut selama ini akan terempas kekerdilan kita yang salah mengarti. Sesungguhnya banyak godaan yang kelak akan menghancurkan hidup aku dan kau jika kita masih bertahan dan menepis ‘pernikahan sakral’ yang merupakan ibadah itu.”

Aku tepekur serupa patung.

“Sayangku, tentulah kau akan mengartikan semuanya ini terlalu naif bagi kita yang belia. Mungkin. Apalagi aku masih saja merintis karierku yang baru seumur jagung. Demikian pula dengan kau yang baru ingin merdeka dan mandiri, terlepas dari tanggung jawab kedua orang tuamu yang sudah uzur. Tetapi aku yakin, semua itu dapat kita padukan seiring sejalan jika kita memang bersikeras menjalaninya dengan sepenuh hati. Ya, sepenuh hati. Seperti cinta yang telah kita bina selama ini.”

Aku memejamkan mata. Mencoba untuk meredakan kecamuk di benakku.

“Pikirmu, kita ini mungkin terlalu rapuh, dan berlagak tegar dengan membangun bahtera rumah tangga. Sayangku, pikirmu betapa bernyalinya aku yang berani mengarungi deru dan  kerasnya ombak kehidupan dengan bahtera rumah tangga yang dinahkodai olehmu. Tetapi tidak, Sayangku. Tidak. Bukankah sudah kukatakan bahwa, Allah, Insya Allah, tidak akan membiarkan kita tenggelam jika bahtera rumah tangga kita selalu berada di jalan yang benar? Kalaupun ada gelombang, itu hanyalah riak-riak kecil dan merupakan cobaan hidup buat menempa kita menjadi tangguh dan kuat. Jadi, perkenankanlah aku mewujudkan impianku ini, Sayangku. Biarlah semuanya, karier dan cinta dalam rumah tangga kita seiring sejalan dan berjalan secara alami.”

Aku mengusap wajah, mencoba menghalau resah dan gentar.

“Menurutku, satu tahun sudah cukup untuk mengenal karakter kita masing-masing, dan aku rasa telah cukup mengenalmu. Apa pemahamanku ini salah?”

Aku mengangguk tak sadar, lantas menggeleng cepat menggebah pengakuan nuraniku tadi.

“Mungkin kau akan terbebani permintaanku ini, Sayangku. Tetapi bukan maksudku membebanimu dengan masalah baru meski saat ini kau masih berkutat dengan masalahmu yang belum terpecahkan sendiri, yang saat ini tengah belajar untuk mandiri dan dewasa dan tak tergantung lagi orangtuamu yang tergolong sederhana. Namun aku hanya tidak ingin kita terjerembap di dalam cinta yang telah tercemari nista. Terkutuklah kita nantinya, Sayangku. Dan aku lebih memilih hidup sengsara dalam bahtera rumah tangga yang rapuh ketimbang harus menanggung beban dosa yang kita ciptakan di atas kenikmatan ragawi.”

Comment