Aku Ingin Menikah

Foto: Istimewa

Mataku mulai memanas. Tegarku diaduk haru. Aku teringat kedua orang tuaku yang sudah tua, serta dua orang adikku yang masih kecil-kecil, yang mesti aku tanggung. Berapa nyawa yang akan kuhidupi kelak?!

“Tahajudlah, Sayangku. Keputusan ini memang mahaberat. Namun Allah pasti memberi petunjuk dan akan meringankan segala beban batin yang kau pikul.”

Aku seperti gila. Kuacak-acak rambutku sembari menggigit bibir. Air mataku sudah jatuh berlinang.

“Maafkan aku, Sayangku. Aku merasa cinta terlalu sempurna untuk dikotori dengan nista. Bukan karena aku ini suci, namun justru karena itulah aku ingin mensucikan cinta kita. Menempatkannya di tempat teratas, dan jauh dari tagut.”

Aku menjerit tanpa sadar. Menelungkupkan kedua belah telapak tangan di wajahku yang sembap.

“Sayangku, cinta yang suci akan menyempurnakan kita menjadi insan yang lebih baik. Menikah adalah ibadah. Dan bukannya mengikat kita serupa belenggu. Renungilah semua itu.”

Aku sesenggukan. Air mataku tak terbendung. Tiba-tiba menjadi lebih cengeng ketimbang bocah.

“Biarlah kita belajar untuk menjadi dewasa dalam pernikahan sakral ini, Sayangku. Biarlah waktu akan menempa dan membentuk kita menjadi manusia yang tegar di jalan yang telah kita pilih: Pernikahan! Jangan sangsi dengan keputusan mahaberat yang telah kita putuskan bersama: Pernikahan! Ketidakberdayaan dan kelemahan hanya belenggu yang senantiasa mengikat kita dalam mungkir, sehingga bila cuai kelak, maka kita akan dijerumuskan dalam sesat cinta terlarang. Aku tidak ingin kita jatuh dalam zinah. Dan penuhi permintaanku yang mungkin hanya kupinta seumur hidupku: Nikahi aku!”

Aku seperti sudah tidak sanggup meneruskan membaca surat darinya.

“Yakinlah dengan jalan yang kita pilih ini, Sayangku. Lalui semuanya dengan ikhlas.”

Aku menelentangkan diri di pembaringan, tubuhku lemas di antara tangisku yang sedu.

“Atas nama cinta yang wangi, sudilah kau menikahiku, Sayangku. Seberat apapun keputusan itu. Karena aku yakin, jalan yang kau putuskan, suatu saat kelak, akan indah pada waktunya! Sebab Allah Maha Besar, dan akan membimbing serta menuntun kita dengan cahaya-Nya! Yakinlah!”

Aku bangkit dari berbaring, masih berusaha meraih surat darinya yang kuempaskan sesaat tadi. Surat yang membuat aku seperti pengecut yang kehilangan nyawa. Surat darinya itu kulanjutkan sekilas dengan ekor mataku.

“Aku tidak peduli, seberapa besar cintamu kepadaku. Mungkin juga kau tak pernah tahu, seberapa besar aku mencintaimu dan mengharap kau untuk menjadi pendampingku. Tetapi jika Allah menghendaki, maka kaulah yang akan dipilih-Nya untuk menjadi ayah dan imam untuk aku dan anak-anakku kelak.”

Aku menjatuhkan diriku di lantai, bersujud dan tafakur dalam tangis. Bimbing aku ya, Allah! Aku telah siap menghadapi semua ‘cobaan’ yang mungkin Engkau berikan kepadaku dalam bentuk pernikahan ini.

Biodata Penulis:

Namaku, Yeni Kurniawi. Aku lahir di Selayang, 13 November 1983. Sekarang aku tinggal di Medan. Hobiku adalah musik, menyanyi, membaca, dan menulis. Zodiakku adalah Scorpio. Aku mempunyai enam saudara yang semuanya laki-laki. Aku memiliki histori unik soal namaku. Dulu, Ibuku ingin sekali mempunyai anak perempuan tetapi selalu tak kesampaian. Sampai suatu saat lahirlah aku, yang bagi Ibu dan Nenek dianggap karunia. Maka jadilah aku dinamai Kurnia. Kata Nenek, Kurnia bermakna bahwa ‘aku adalah karunia dari Allah untuk lahir ke dunia melengkapi keluargaku’. Namun karena terlalu pendek, maka namaku ditambahi Yeni. Jadilah namaku yang sekarang, Yeni Kurniawi. Aku ingin menjalin persahabatan dengan banyak orang, siapapun itu. Dan aku memiliki satu impian yang mungkin juga merupakan impian semua insan, yaitu mendapat pendamping yang baik dan setia.

Comment