Aku Tak Bisa Mencintaimu Lagi

Foto: Istimewa

Dan kalimat itu menyentuh perasaan Bagosa. Tapi belum ada niat di hatinya untuk datang mengunjungi Aldi. Masalahnya, ia cuma takut Kitty berbohong karena disuruh Aldi. Masalahnya bayang-bayang Mama Aldi menghantuinya.

Sebenarnya, bisa saja ia bersikap tidak peduli. Tapi itu tidak berani ia lakukan. Setahun tinggal di Solo telah mendidiknya banyak hal tentang kesopanan yang harus diikuti.

Sampai, sebuah ketukan di pintu kamar indekosnya mengejutkannya. Dan hampir membuat Bagosa loncat dari tempatnya berdiri.

“Aldi kecelakaan. Mama berharap banyak kepadamu….” Cuma kalimat itu yang terucap dengan air mata yang tak henti mengalir, yang pada akhirnya meruntuhkan hati Bagosa. Entah ke mana ia buang sakit hatinya pada saat itu.

Dan kalau sekarang, besok maupun seterusnya Bagosa berdiri dan menjadi bagian dari rumah besar itu, jangan salahkan dirinya. Salahkan takdir yang membuatnya harus mengikuti apa yang Tuhan atur.

Sebuah kesombongan barangkali harus diruntuhkan dengan peristiwa kecelakaan itu.

“Bagosa….”

Sebenarnya Bagosa sudah mendengar bunyi derit kursi roda. Tapi Bagosa mencoba untuk tidak begitu antusias menyambutnya. Sebagian hatinya juga mendukung hal itu.

“Aku menunggumu sejak siang tadi. Kenapa baru datang? Banyak kuliah tambahan atau terlalu banyak teman yang mengajakmu pergi? Frans dan lainnya pasti senang ya, melihat aku jadi lumpuh begini. Dia masih mengejar-ngejar kamu, kan?”

Seperti tidak peduli, Bagosa justru menghampiri rumpun melati tak jauh dari tempatnya. Beberapa bunga yang ada diambilnya dan dimasukkan ke dalam saku celana jeansnya.

“Mama menyuruhmu untuk menemaniku sampai malam nanti. Yang lainnya pergi. Ada buku-buku yang harus kamu bacakan untukku. Sekarang, aku lebih senang mendengar suaramu membacakan cerita untukku daripada aku membacanya sendiri.”

Bagosa menghembuskan napasnya. Sampai terlihat oleh matanya tirai di kamar tidur utama tersingkap dan wajah Mama terlihat memperhatikan. Tapi cepat-cepat ditutup kembali setelah mengetahui Bagosa memperhatikan hal itu.

“Bagosa, liburan ini kamu tidak jadi ke Jakarta, kan? Aku bisa frustasi kalau kamu pergi. Lagipula, Mama sudah merestui hubungan kita. Kata Mama, kamu sudah seperti gadis Jawa. Ah, kalau Papa masih ada, beliau pasti senang berkenalan denganmu.”

Bagosa menghembuskan napasnya lagi. Lagi. Kakinya bergerak mendekati Aldi dan mendorong kursi roda Aldi perlahan.

“Aku mencintaimu, Bagosa….”

Bagosa diam. Ada yang menitik perlahan yang cepat dihapuskannya ketika mendengar suara langkah diseret menuju ke tempat ia dan Aldi berada. Mama!

“Mama merestui, kan?” tanya Aldi pada Mama.

Dan Bagosa melihat kepala yang mengangguk perlahan. Namun sorot matanya terlihat kaku dan masih tak bersahabat.

Bagosa mengelus dadanya. Seperti mencari tahu apa yang ada di hatinya.

Rasa-rasanya, tidak sebesar dulu apa yang tersimpan di hatinya untuk Aldi. Semuanya sudah berubah. Dan memang ia gadis yang cepat berubah.

Bagosa menggigit bibirnya.

Belum ada bayangan cowok lain memang. Tapi cinta di hatinya untuk Aldi luntur perlahan. Aldi bukan tipe seperti yang ia inginkan. Lagi pula, ia bukan tipe yang diinginkan Mama Aldi.

“Bagosa aku mencintaimu….”

Bagosa tak menjawab tapi terus mendorong kursi roda Aldi.

Saat ini, hatinya merasa sunyi.

Saat ini, ia seperti menjadi orang lain!

Biodata Penulis:

Nurhayati Pujiastuti, lahir di Solo, Salatiga pada 1970. Pengagum sastrawan Nh Dini ini merupakan salah seorang pengarang paling produktif di Tanah Air. Bersama penulis asal Jakarta, Siauw Phing, penulis yang berihwal dari menulis puisi tersebut dikenal sebagai cerpenis spesialis cinta, dengan tokoh berkarakter yang dibangun lewat dialog-dialog cerdas. Pernah bertugas sebagai wartawan di Majalah Aneka Yess! (1998) dan majalah Planet Pop (1999-2000). Novelnya sudah banyak yang dibukukan berbagai penerbit. Di antaranya, ‘Selamat Pagi, Nona Peramal!’ (Lingkar Pena) yang fenomenal, dan masih banyak karya lainnya. Sekarang, ia bertugas sebagai editor buku di Grasindo Pustaka (Jakarta).

Comment