Belibis Putih di Ranu Kumbolo

Foto: Istimewa

Semua itulah yang membawanya kini berada di tepi Ranu Kumbolo. Yang membawanya kini berada di kawasan Gunung Semeru. Yang membawanya mau ikut mendaki gunung, kegiatan yang sebelumnya sama sekali tidak disukainya.

“Ah…!” Mega menghirup napas dalam-dalam. Bola matanya yang indah menatap sekeliling. Ranu Kumbolo yang lengang. “Kenapa baru sekarang aku mencobanya? Kenapa tidak dari dulu-dulu? Kalau saja aku tahu mendaki gunung itu mengasyikkan, tentunya aku tidak perlu ke diskotik? Tentunya tidak bakalan dihina Erick!” sesalnya dalam hati.

Kembali pikirannya menerawang. Terbayang ruang diskotik yang sudah beberapa kali jadi tempatnya menghabiskan malam Minggu bersama Erick, Tony, Mona, Rinto, dan Susi. Tempatnya berhura-hura yang identik minuman beralkohol dan peredaran pil ekstasi. Tempat yang tak pernah sepi dari hingar-bingar house-music dan kilatan cahaya lampu warna-warni.

Sungguh berbeda dengan tempatnya sekarang ini berada. Tempat yang begitu asri. Begitu sunyi. Penuh kedamaian. Tempat yang membuatnya terasa begitu dekat dengan-Nya.

Sesaat Mega menyibakkan rambutnya yang terurai panjang. Ada rasa rindu yang tiba-tiba menggelayut dalam benaknya. Rindu pada kamarnya yang berdinding merah muda. Rindu pada rumahnya. Dari rumah itulah lahir keputusannya yang jauh dari kalimat bijak.

Malam itu masih di meja makan seusai makan malam, Mamanya membuka obrolan.

“Kemarin sama Papa, Mama mengambil keputusan agar kamu masuk sekolah musik. Agar bakat nyanyi dan musikmu terasah dengan baik. Ya, paling tidak agar kamu profesional di musik. Kebetulan Papamu kenal baik dengan Oom Prana, pemilik sekolah musik itu. Mama yakin kamu pasti suka,” tutur Mamanya lembut.

“Mama dan Papa selama ini belum pernah minta pendapat Mega, kan?! Mega suka atau tidak?” tanggap Mega acuh tak acuh sembari tangan kanannya memainkan gelas di depan wajahnya.

“Tapi Mama dan Papa pikir itu yang terbaik untuk kamu, selain kursus komputer dan bahasa Inggris,” ujar Mamanya berusaha memberi pengertian.

“Mama dan Papa selalu mengatakan, apa yang Mama dan Papa lakukan untuk Mega selalu mengatasnamakan yang terbaik. Mulai urusan sekolah, kegiatan sampai teman. Lantas, kapan sih Mega bisa menentukan sendiri apa yang Mega anggap terbaik?” gerutu Mega.

“Bukannya Mama dan Papa bertindak otoriter terhadapmu. Tidak, Ga! Mama dan Papa hanya ingin membekalimu. Bukan mengarahkan kamu untuk jadi penyanyi atau musisi. Sebab, Mama dan Papa lihat sekarang ini persaingan hidup begitu ketat. Contohnya, banyak sarjana menganggur. Cuma kebetulan tidak punya koneksi dan kesempatan. Apalagi, dua atau lima tahun mendatang? Padahal, kebanyakan mereka sebenarnya menguasai komputer dan bahasa Inggris,” sela Papanya.

Mega tak berkutik mendengar kata Papanya. Hanya, Mega tidak mengatakan setuju atau sebaliknya. Melainkan memilih beranjak dari meja makan menuju kamar tidurnya.

Comment