Belibis Putih di Ranu Kumbolo

Foto: Istimewa

Mega memang sudah lama tidak menyukai sikap Mama dan Papanya. Pada awalnya ketika masih duduk di bangku sekolah dasar hingga SMP, Mega memang merasa senang mendapatkan perhatian yang cukup dari Mama dan Papanya. Tapi lama kelamaan sejak duduk di bangku SMA, Mega merasa seperti patung tanah liat yang dibentuk sesuai selera Mama dan Papanya.

Dalam situasi dan kondisi seperti itulah, suatu sore sepulang kursus, Mega berkenalan dengan Mona di Cafe Olala, Blok M Plaza.

“Ga… lebih baik gabung sama kita ketimbang sumpek di rumah, sumpek di sekolah yang banyak aturan,” bujuk Mona sewaktu Mega bermain ke tempat indekos Mona dan teman-temannya di kawasan Bangka.

“Kapan saja kita mau, kita bisa hangout di mal-mal. Apalagi, kalau malam Minggu, kita bisa nongkrong di puncak atau clubbing sampai pagi. Untuk apa juga cuma jadi kutu buku dan menghadapi orang tua yang kolokan,” sela Selvi, teman indekos Mona. “Soal biaya hidup sehari-hari dan sekolah, gampang deh! Syukur-syukur sih Papa kamu masih sering memberimu uang. Jadi, kita tinggal cari buat hepi,” lanjut Selvi bersemangat.

Rupanya bujuk manis Mona dan Selvi mengena sasarannya. Kesenangan semu menari-nari dalam angan Mega yang masih lugu. Hingga suatu malam, Mega lari dari rumahnya. Meninggalkan kekangan yang dirasakannya selama ini.

“Maafkan Mega, Ma. Maafkan Mega, Pa,” gumam Mega ketika berusaha meninggalkan rumahnya.

Malam itu, Mega yang sudah membulatkan tekadnya untuk pergi dari rumah. Dengan hati-hati ia membuka pintu gerbang rumahnya agar tidak tertangkap basah Pak Cahya, Satpamnya yang sedang terbuai mimpi di pos Satpam.

Tapi apa yang aku dapatkan sekarang ini? Hura-hura di diskotik? Hinaan Erick? Hanya itukah yang pantas aku dapatkan? Lantas kemana perginya kebebasan? Kemana? Beruntung aku belum terjerumus seperti Mona dan Selvi yang sudah kecanduan pil ekstasi! Dan rela menjual diri mereka menjadi PSK bila ketagihan barang-barang haram tersebut!

Pulang? Haruskah aku pulang? Tapi untuk apa? Untuk dikekang lagi? Tidak, aku tidak akan pulang! Namun, tiba-tiba menyelinap rasa rindu dalam benaknya. Rindu pada kecupan dan belaian Mamanya. Rindu pada gandengan mesra Papanya saat berjalan di Plaza Senayan, Plaza Indonesia, atau Seibu. Mega merasa dirinya kini seperti belibis putih yang sendirian berenang kian kemari di hadapannya.

***

Perlahan Mega beranjak dari tempat duduknya. Sesaat Mega berbalik. Kemudian melangkahkan kakinya pada jalan setapak. Menuju tenda dome yang sudah didirikan Alda, Dirga, dan Anggi. Sambil melangkahkan kakinya yang terbungkus Timberland, Mega berangan-angan. Besok sesampainya di Malang, Mega akan menelepon Mamanya. Lusa sesampainya di Jakarta, langsung pulang ke rumahnya. Sungkem kepada Mama dan Papanya.

Kabut sudah tak nampak lagi. Sesekali angin berembus menerpa pucuk-pucuk pinus dan ilalang. Mentari menuju peraduannya. Cahaya kemerahannya memantul pada permukaan air Ranu Kumbolo. Belibis putih mengepakkan sayapnya. Terbang di senja yang indah. Menuju sarangnya.

Biodata Penulis

Budi Kusnendar, lahir di Bandung. Penulis ini merupakan wartawan senior pada beberapa media cetak nasional. Pernah bertugas sebagai wartawan di majalah Anita Cemerlang dan tabloid Cek & Ricek, Jakarta. Tema-tema cerita pendek atau cerita bersambungnya kerap diangkat dari pengalamannya selama hunting tugas atau avonturirnya ke berbagai tempat di Indonesia maupun luar negeri. Tulisan terkait alam dan lingkungan hidup Budi sama baiknya ketika ia menulis tentang musik. Di majalah Anita Cemerlang, ia dipercayakan sebagai redaktur nonfiksi yang memegang rubrik musik, profil musisi, maupun hal-hal terkait musik.

Comment