Berlariku

Foto: Istimewa

“Beberapa tahun lagi aku bakal pensiun lari. Mungkin kamu harus berhenti sekarang.”

Kata-katanya begitu menyinggung perasaanku. Tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak dan aku melangkah pergi meninggalkan lapangan tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Apaan sih semua orang di sini? Sok tahu! Pertama si Jangkung, sekarang si Sok Jago. Reseh!

***

“Mungkin dia hanya perlu les?”

“Kami rasa dia terlalu bebas. Apa dia anak yang manja?”

“Tidak perlu memutuskan secepat itu, Bu. Kami mohon dipertimbangkan lagi.”

“Prestasinya semakin menurun dan dia tidak berusaha untuk memperbaiki.”

“Saya sangat prihatin dengan keadaannya.”

“Mengulang kelas tidak seburuk yang Anda kira.”

Aku bangun dengan keringat di sekujur tubuhku. Memori masa lalu yang suram muncul dalam bentuk mimpi. Aku sadar aku adalah seorang pecundang, aku tidak butuh orang lain untuk mengatakannya kepadaku. Tinggal kelas? Mukaku mau ditaruh di mana! Ngaco. Mereka semua tidak pakai otak. Lagian, kalau ada solusi gampang, buat apa cari susah? Kalau ada jalan pintas, buat apa penderitaan diperpanjang? Aku bisa pindah ke sekolah manapun yang aku mau. Kayak yang tidak punya duit saja.

Tidak selamanya aku seperti ini. Dulu sekali, aku cinta sekolah. Ayah adalah seorang dosen di sebuah universitas ternama, ia selalu mengutamakan pendidikan. Ia sangat disiplin, namun tidak sampai membuatku takut. Akhir pekan adalah saat-saat yang paling kutunggu dulu karena kami sekeluarga selalu pergi bertamasya. Kadang kami ke Puncak, Taman Ria, atau Museum Purnabakti yang merupakan museum favoritku.

Aku sangat suka digendongnya. Ayah biasa menggendongku di tangan kanannya dan menggandeng kakak dengan tangan kirinya. Ayah harus mengajar di luar kota suatu kali, ia berjanji hanya akan pergi seminggu. Ayah menjanjikanku segelas es krim ketika ia pulang, tapi malang nasibku, aku tidak pernah mendapat segelas es krim itu. Ia tidak pernah kembali. Ibu hanya bisa meratapi kepergiannya, dan kakak tidak pernah lagi menangis semenjak hari itu. Aku berlari sekencang yang aku bisa.

Aku berlari agar air mataku tidak jatuh, meninggalkan kenangan tentang Ayah di belakangku. Sejarah mengeraskan suaranya, majas mengingatkanku tentangnya, trigonometri membuatku teringat wajahnya.

Tapi Ibu tidak mengizinkanku putus sekolah begitu saja. Aku mengikuti kemauannya, berjanji akan masuk sekolah setiap hari, tidak lebih dari itu. Kakak justru menghidupkan kembali sebanyak mungkin kenangan tentang Ayah yang ia bisa. Ia lulus SMA dan melanjutkan kuliah di luar negeri dengan beasiswa.

Kalau Ayah masih ada hari ini, ia pasti akan malu punya anak sepertiku. Setiap kali pihak sekolah meminta Ibu datang ke sekolah, aku langsung tahu aku akan tinggal kelas. Enam kali aku hampir tidak naik kelas, enam kali aku memaksa Ibu memindahkanku ke sekolah lain. Berlari adalah kemahiranku. Kali ini akan kugunakan talenta untuk membuat Ibuku bangga.

Comment