Biarkan Aku Mencintaimu dalam Sunyi

Foto: onehdwallpaper.com

“Setiap kali membelai rambutmu, aku merasakan sensasi yang berbeda saat jari-jariku memilin dan menelusuri ruas demi ruas rambutmu. Ketika ruas rambutmu bergerak kembali menjadi ikal saat jariku lepas dari ujungnya, rambut itu meretas lurus sejenak, lalu berpilin lagi, perlahan tapi pasti seperti alunan ombak di depan sana. Aku begitu menyukainya,” jawabmu tulus.

Aku tersipu dan kemudian kita tertawa bersama, kemudian memandang debur ombak yang mengempas pantai serta merasakan desau angin senja yang sejuk. Kamu kemudian memeluk pundakku erat-erat dan bersama-sama lagi kita terpana menyaksikan keindahan mentari beranjak ke peraduan di ufuk cakrawala meninggalkan jejak-jejak merah jingga.

Aku tahu, kamu tentu tidak akan setuju pada keputusanku ini, namun percayalah ini jalan terbaik yang mesti kita tempuh, untuk saling memelihara bara api cinta kita secara elegan.

Kemarin, ketika secara tidak sengaja kita bertemu di mal, kamu mengenalkan aku kepada istri dan anakmu. Saat itu aku tahu, dari balik sorot matanya yang polos dan sederhana, istrimu memendam kepedihan yang lebih berat dari yang aku rasakan saat ini. Juga dari binar mata ceria, Ananda, anakmu aku menangkap seberkas cahaya pilu dan kehilangan sosok ayah yang didambakannya.

Dalam pertemuan yang begitu singkat itu aku pun segera mendefinisikan ulang makna hubungan kita. Bukan semata atas dasar ‘solidaritas sesama wanita’, tapi lebih dari itu, komitmen rahasia yang kita bangun dalam setiap cumbuanmu dan desah napasku, pada dasarnya begitu rapuh terutama oleh kesangsianku memaknai hubungan kita lebih lanjut.

Keluarga yang dengan setia menunggumu di rumah lebih berarti dari diriku yang bagimu sekadar penyalur hasrat kelelakianmu. Aku merasakan kepedihan luar biasa merambati hatiku saat menyaksikan kalian sekeluarga berjalan mesra berpelukan di hadapanku, setelah pertemuan di mal kemarin.

Sungguh beruntung Mbak Rita, istrimu, yang memiliki tajam mata elangmu dan kekar tubuhmu. Meski sudah berulang kali kamu katakan: “Dia boleh memilikiku, tapi hatiku hanya untukmu,” lewat bisik lirih di telingaku, selalu, sesaat setelah kita menuntaskan hajat percintaan kita. (Ketika itu, aku memang tidak peduli entah pada berapa banyak wanita lain kamu ungkapkan pernyataan yang sama). Saat ini aku baru menyadari sepenuhnya bahwa ‘kepemilikan’ atas hatimu hanya semu belaka.

Bahwa aku mencintaimu sepenuh jiwa, aku tidak memungkirinya. Malam demi malam kulalui tanpa sedikit pun melewatkan lamunan tentangmu. Termasuk membangun keluarga bahagia bersamamu dengan anak-anak yang lucu sebagai perekat rumah tangga kita. Namun semuanya mendadak hilang tak berbekas, ketika menyadari bahwa aku hanya menjadi kekasih rahasiamu, yang menemanimu berlari dari jiwamu yang dahaga karena cinta yang mengerontang. Seperti katamu setiap kita usai bercumbu: “Istriku tidak pernah memberi lebih baik seperti yang telah kamu persembahkan kepadaku.”

Pada saat yang sama, kamu sering bercerita tentang kelucuan Ananda, putri semata wayangmu yang baru berusia dua setengah tahun. Dengan bersemangat dan mata berpijar, kamu mengisahkan bagaimana Ananda belajar mengucapkan kata demi kata. Kamu kemudian memperagakan bagaimana Ananda salah mengeja kata yang kamu ajarkan, lalu kita pun tertawa berderai.

Comment