Cinta dalam Bayang Baur (Winter in Osaka)

Foto: Istimewa

“Kamu terlalu yakin.”

“Demi kamu, aku berani bertaruh.”

Mariska menopangkan jemarinya yang lancip pada bilah-bilah tuts pianonya. Matanya menerawang keluar jendela. Di sana, pucuk-pucuk cemara udang seolah menari di penglihatannya. Melenggok ala balerina mengikuti denting pianonya yang sedang mengalunkan ‘Because’-nya Julian Lennon.

“Ini bukan judi.” Kalimatnya terlontar di akhir tohokannya pada tuts kunci. Suasana kembali senyap. Lagu berbirama terner itu menguap seperti embun.

“Memang.” Kevin mendekat setelah dia beberapa saat tadi mondar-mandir di tengah ruangan. Dia duduk memepet di samping gadisnya itu. Bersempit-sempit di bangku yang sama. “Tapi, percayalah. Setelah semuanya beres, aku akan menghadap ke Papa dan Mamamu. Meminta restu….”

“Bukan hal yang gampang. Banyak perbedaan yang mendasar di antara kita….”

Kevin menaruh telunjuknya di bibir Mariska. “Dua tahun, Mari! Dua tahun kita bersama dalam manis dan pahit. Nah, tidak cukupkah hal itu membuktikan betapa kukuhnya hubungan kita? Perbedaan-perbedaan itu, hanya berupa debu di sini.” Dijentikkannya jarinya itu setelah diangkatnya dari bibir Mariska.

Mariska tersenyum hambar. “Backstreet….”

“Apa salahnya?” Kevin memagut tubuh mungil gadisnya itu.

Mariska menjatuhkan kepalanya ke dada Kevin. Air matanya berlinang tiba-tiba. Dia ingat bagaimana sulitnya menjalin hubungan dengan cowok dari latar belakang kebudayaan yang berbeda itu. Banyak pertentangan yang merintangi hubungan mereka. Papa dan Mamanya tidak setuju!

“Tidak adakah cowok lain yang berasal dari negerimu sendiri?!”

Kalimat itu berdenyar di benaknya. Betapa sinisnya pandangan mereka terhadap Kevin Higashi. Dan betapa ramahnya sambutan mereka terhadap Dirga, pemuda pilihan mereka yang masih sekerabat sedarah.

Dua tahun dia dan Kevin berhubungan secara diam-diam. Saat pulang sekolah, Kevin akan menjemputnya dengan motor bebeknya. Menurunkannya pada jarak tak seberapa dari rumahnya. Bersembunyi di balik pagar tembok. Mengarahkan matanya sampai dia masuk ke dalam rumah.

Hal yang sama dilakukannya pada keesokan harinya. Juga ketika dia hendak ke tempat kursus pianonya. Kevin pasti sudah menunggu di tempat yang biasa. Kadang menunggunya berjam-jam tanpa merasa jenuh, dan hanya bertemankan semut-semut merah yang berbaris di dinding.

Tapi….

Cowok itu akan kembali ke negeri asalnya. Ada hal yang perlu diselesaikannya di sana. Mungkin masalah keluarga. Mungkin pendidikannya. Entahlah. Sebab mendengar kata berpisah saja, dia sudah tidak sanggup. Dan untuk alasan mengapa, dia sudah tidak kepingin tahu.

Yang pasti, cowok itu akan menikmati kembali indahnya bunga-bunga sakura. Putih salju serupa kapas yang menggantung pada pucuk-pucuk sugi. Atau, khusyuk bersujud di dalam jinja sebelum menjelang matsuri.

“Mari….”

Mariska terkesiap. Kevin menggugah lamunannya dengan membelai tengkuknya yang halus.

“Kamu akan menungguku, kan?”

Comment