Cinta dalam Bayang Baur (Winter in Osaka)

Foto: Istimewa

“Satu tahun tidak ada kabar dari dia, Mari.” Tika mendengus sebal. “Mestinya….”

Mariska menundukkan kepala. Benaknya baur. Digigitnya bibir menahan tangis yang hendak menyeruak.

“Kamu sudah pernah kontak dia?” tanya Tika, bernada menuntut.

Mariska mengangguk lunglai. “Pernah. Tapi, lost-contact. Aku pikir dia pasti sibuk. Jadi, aku tidak….”

“Kebangetan!”

“Mungkin….”

“Andi Mariska Damayanti Mappangewa!” Tika menghardik kesal, memanggil sahabat karibnya itu dengan nama lengkap. “Jangan bilang ‘mungkin-mungkin’ lagi. Itu sudah jelas, dan bukan ‘mungkin’ lagi. Dia sudah jelas tidak peduli dan tidak memperhatikan kamu lagi!”

“Tapi….”

“Sudahlah, Mari. Aku kasihan sama kamu. Sampai kapan kamu mau menunggunya?!”

Mariska terdiam. Dirasakannya pelupuk matanya membasah. Tika menatap ke arahnya tepat ketika bel masuk berbunyi. Dia menarik napas lega. Dia dapat menyembunyikan tangisnya dari Tika.

***

Mariska menatap kanzashi pemberian Kevin dengan mata berair. Diusapnya hati-hati benda yang terbuat dari kayu halus berbentuk tusuk konde tersebut. Kemudian dialihkannya pandangannya ke bawah. Di bagian bawah lemarinya masih terlipat rapi haori, dotera, dan kimono-hitoe. Semuanya merupakan oleh-oleh dari Kevin.

Dan tak ada yang lebih mengesankan ketimbang momen-momen bersama Kevin. Cowok itu pengertian banget. Sikapnya yang kebapakan sering menanamkan satu sikap yang bijak dalam diri Mariska. Bahwa sebagai putri tunggal, Mariska tidaklah harus berkubang dalam fasilitas yang berlebihan, yang disediakan bebas orang tuanya yang terbilang cukup berada. Menuruti kehendak hati semata akan menyebabkan dia menjadi manja dan cengeng.

Terpecut dari kalimat Kevin, Mariska merasakan perubahan besar dalam dirinya. Ya, disadarinya kalau selama ini dia selalu bersikap manja. Berangkat dan pulang sekolah harus diantar dan dijemput mobil sama Papa atau Mama. Padahal, jarak dari rumah ke sekolahnya tidak jauh-jauh amat. Bukankah bersepeda merupakan hal yang menguntungkan bagi kesehatan?

Memang Kevin banyak memberikannya pandangan-pandangan tentang kehidupan ini. Kadang-kadang cowok itu seperti seorang filosof ketimbang kekasih bagi dirinya.

Ketika dia merasa sudah saatnya memperkenalkan Kevin kepada keluarganya, datanglah masalah itu. Dan, melantakkan segalanya! Sepertinya tidak ada harapan lagi untuk menampilkan Kevin di hadapan mereka. Mereka sudah terlajur mengagungkan sebuah nama yang kelak bakal menjadi teman hidup Mariska. Dirga namanya!

Mariska kecewa. Impiannya runtuh sudah. Memang, kedua orang tuanya tidak bilang kalau kelak Dirga-lah yang akan menjadi bagian dari jiwanya. Mereka tidak bilang begitu. Agaknya terlalu dini mengungkapkan hal tersebut. Sebab Mariska juga masih terlalu muda untuk membina sebuah rumah tangga yang harmonis. Dia masih kelas satu SMA kala itu. Sementara, Dirga baru masuk ke salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

Comment