Manusia dari Luar Angkasa

Foto: Istimewa

Manusia dari Luar Angkasa
Oleh Ery Sofid

MEDIAWARTA.COM – Aku yakin wajah yang berada di dalam cermin itu bukan diriku. Teksturnya menyimpang liar dari fakta. Dengan jujur aku mengakui bahwa aku terlahir ganteng. Mirip Antonio Banderas sedikit. Tapi saat jemari mentari pagi memancar mataku dan membuyarkan mimpi dalam pulasku, kebanggaan akan wajahku sekonyong-konyong terancam. Tapi pagi ini, aku berani menyangkal. Aslinya penampilanku memikat, namun kenapa mesti nongol figur makhluk aneh?

Aku tak bisa mendeskripsikan secara detail ‘diri’-ku yang lain, yang nampak di cermin. Kira-kira begini, kepalaku nyaris mengembang sebesar guci keramik yang dipajang di ruang tamu. Bulat rada melonjong. Jidatku lebar dan berkerut-merut. Oya, kepala ‘asing’ itu botak licin mengkilap. Sepasang mataku persis ikan maskoki, seputarnya sembap. Pelipisku membengkak dan alisku rimbun kecokelatan. Hidungku cuma menyembul satu sentimeter dengan cuping mekar. Pesek. Makhluk itu, selayang mengingatkan pada film-filim science-fiction yang kerap aku tonton. Jelek, menjijikkan, dan menakutkan.

Lama pula aku terpekur. Aku tegaskan harapan semoga pengalaman aneh pagi ini cuma ilusi belaka. Harus ada proses kausalitas kalau aku terhasut percaya. Kenapa begitu? Tapi yang mengherankan saat aku menguji kesesuaian antara diriku yang di luar dan bayangan di dalam cermin. Tiap gerakan fisik yang aku lakukan misalnya meraba-raba pipi, hidung, bibir, telinga, mata, dan kening, dia menirunya serba tepat. Tapi aku tetap merasakan keberadaan diriku wajar-wajar saja. Ah, apa yang sebenarnya terjadi?

Satu-satunya cara membuktikan apakah semua ini ilusi atau bukan adalah mencari persepsi obyektif dari Ibu dan Bapakku. Meskipun aku yakin makhluk dalam cermin itu bukan diriku yang riil.

“Tumben terlambat, Ry,” kata Ibu yang lagi mengoleskan selai nanas ke lempengan roti. “Buruan mandi, deh. Sebentar kesiangan sampai sekolah.”

Senyumku tercetak kaku. Jarum jam dinding merangkak di kisaran enam lima belas menit. Sesaat aku tertegun memandang mereka.

Bapak mendongak dari rentangan koran yang dibacanya sejenak. “Malah bengong. Bapak pengen berangkat nih, Ry. Mau menumpang atau tidak?”

“Siap, Bos,” sahutku. Lalu ngeloyor ke belakang. Lega.

Tapi seusai mandi dan balik bersalin seragam di kamar, aku kembali menemukan ‘diri’-ku yang asing saat bercermin.

***

Sebenarnya aku segan mengeluhkan perihal ini. Pada siapapun, bahkan Bapak dan Ibu. Aku ingin melupakannya. Masih mengantri sederet masalah lain yang lebih penting dipikirkan. Namun entah kenapa peristiwa edan pagi tadi itu terus-menerus menerjang benakku. Sesosok makhluk antah-berantah. Ini amat mengganggu ketenanganku.

Unek-unek itu coba aku limpahkan ke Beno. Dari sejumlah teman seantero sekolah, Beno ibarat kulit dan daging denganku. Dekat. Sahabat. Kadang anak-anak iseng meledek kami pasangan hombreng. Cuek. Hak mereka bersuara. Yang jelas kerukunanku sama Beno terbina. Beno baik. Solidaritasnya cemerlang. Itulah pasalnya aku mempercayainya.

Comment