Merah Harga Diri

Foto: Istimewa

“Ke rumah Dan. Barangkali badik itu tertinggal di sana.”

Ya, Tuhan!

“Yar!” Saya nyaris berteriak. “Jangan menjerumuskan diri begitu.”

“Saya tak punya pilihan. Rudi yang memaksa saya. Setiap hari, setiap kali ketemu, kata-katanya selalu menyakitkan dan menantang!”

“Kamu sedang emosi,” saya coba membujuk. “Kita bicarakan lagi dengan tenang, oke?” Saya tarik lengannya. Tapi Giyar menepisnya.

“Fik….”

Hanya itu yang ia desiskan. Selebihnya, hanya matanya yang menatap saya. Tajam dan lama. Saya mengeluh dalam hati. Saya tahu arti tatapan itu. Hampir dua tahun akrab dengan hari-harinya, mengajari saya untuk paham akan makna tatapan Giyar yang seperti itu. Artinya, saya mesti memaklumi apapun tindakan yang akan diambilnya. Tetapi untuk soal seperti ini….

Kegalauan saya tak lama. Giyar menindasnya dengan meninggalkan saya yang masih tercenung bingung. Saya tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegahnya. Dan saya rasa itu pun tak ada gunanya. Barangkali ada baiknya Giyar ke rumah. Dan setidaknya saya punya kesempatan untuk menjauhkan badik itu dari tangannya.

***

Tak pernah saya merasa demikian gamang seperti hari-hari belakangan ini.  Giyar benar-benar telah dirasuk dendam. Dendam hitam yang mengental. Sekarang, hampir setiap hari ia seperti resah. Tak pernah lagi terdengar siulan khasnya. Kami seperti menjadi asing satu sama lain. God, sampai kapan?

Semua karena Rudi. Rudi brengsek! Kemarin saya menemuinya di kampusnya. Meminta agar ia mau menjernihkan persoalannya dengan Giyar.

Apa tanggapannya?

Ia tertawa dengan gaya amat tengil di mata saya. Lalu dengan entengnya ia bilang, tak ada persoalan apapun antara ia dan Giyar.

“Tapi kamu menghinanya,” geram saya sengit.

“Saya tak merasa begitu,” tolak Rudi. “Giyar yang kelewat mudah tersinggung!” Bibirnya mengikal. Sinis dalam pandangan saya. Demi Tuhan, saya kok jadi ingin mendaratkan tinju di hidung bagusnya!

“Tapi seharusnya kamu tak usah macam-macam terhadap dia. Ingat, di antara kalian pernah ada bara!”

“Kamu menyalahkan saya?”

“Ya!” saya jawab dengan tegas. Duh, jika kali saya keliru dalam memandang si Benar dan si Salah, semoga Tuhan mau mengampuni. “Dan saya ingin kamu mau berbesar hati untuk minta maaf kepadanya.”

Tawa pongah Rudi menyeruak. “Saya rasa kamu keliru menunjukkan kalimat. Barangkali ini tak mengenakkan bagimu. Tapi, sorry, aku bukanlah jenis orang yang sudi terbungkuk-bungkuk memohon maaf!”

“Kamu harus mau.” Saya tentang matanya. “Sebelum Giyar benar-benar nekat. Beberapa hari terakhir ini ia selalu sibuk mencari badiknya. Kamu tahu artinya itu?”

“Kamu mengancam saya?”

“Saya tak punya hak untuk mengancam kamu. Tapi Giyar bisa serius dengan rencananya.”

Comment