Pelangi di Pantai Senggigi

Foto: Istimewa

Re ikut tertawa melihat tingkah Egidia yang polos dan bersahabat.

“Ah, sudahlah. Aku toh belum sengetop JK Rowling. Aku baru belajar menulis,” jawab Re malu-malu.

“Tapi ceritanya bagus, kok. Senja, Laut, dan Pelangi itu pengalaman pribadi, ya?” Sudut mata Egidia merayapi wajah Re.

“Begitulah.”

“Terlalu sentimentil menurutku.”

“Kenyataannya memang begitu. Aku memiliki Papa dan Mama. Tetapi mereka seperti tokoh ilusi. Nyata! Tapi aku tak pernah bisa memilikinya. Kesibukan membuat mereka lupa kalau di rumah ada seorang Re. Tapi… ah, sudahlah. Lupakanlah!” Re menggeleng. Mengambil beberapa batu kerikil dan membaginya kepada Egidia.

Gadis itu ikut melemparkan kerikil-kerikil itu ke tengah pantai. Keciprak suaranya terhapus begitu saja lidah ombak yang menari-nari.

“Menyedihkan,” kalimat Egidia terdengar seperti sebuah desahan.

Sebuah camar menukik dari langit. Menggoda segelintir nelayan yang masih setia dengan jalanya.

“Eh, lihat di atas!” Tiba-tiba Re menunjuk ke langit. Matanya berbinar ceria.

Sudut mata Egidia mengikuti arah telunjuk Re. Mula-mula Egidia tak menemukan apa-apa. Lama kelamaan di sela-sela gerimis dari gumpalan awan melesat sebuah lengkungan indah yang berwarna-warni. Lengkungan itu berpijak di permukaan pantai.

“Pelangi?” Egidia menjerit girang.

“Yah, pelangi. Indah. Nyata tapi tak abadi. Seperti sebuah kehidupan.” Mata Re tak lepas dari lukisan indah yang mengkombinasikan tujuh warna yang sempurna.

Tujuh menit lamanya Egidia dan Re merayapi lukisan Tuhan itu. Ketika gerimis berhenti dan sinar mentari memberontak dari dekapan awan, lambat laun warna itu memudar. Sedetik kemudian pelangi itu hilang dari pandangan ketika kemuning senja merenggutnya dengan paksa.

“Buanglomu di sebelah mana, Re?” Egidia menatap wajah Re.

“Itu!” Re menunjuk sebuah tenda yang berdiri persis di kaki sebuah pohon kelapa.

“Kamu tidur di tenda itu, Re?” Egidia tak percaya.

Re tersenyum lalu mengangguk.

“Tidak takut?” Mata bening Egidia bergerak indah.

Re menggeleng.

“Kalau tiba-tiba ada tsunami?” Tatapan Egidia menyapu wajah Re.

“Aku bersyukur. Aku diberi perasaan yang tajam. Sepertinya aku tahu persis kapan akan ada gelombang pasang dan kapan laut akan surut. Aku menyatu dengan laut. Laut itu ibuku,” Re tersenyum. Manis sekali. Menatap wajah Egidia. Mengajak Egidia membuat labirin sembari menunggu sunset yang sebentar lagi akan menghiasi Selat Sunda itu.

Saat sang Surya bersembunyi tiba-tiba ada sesuatu yang hilang dari hati Egidia, ketika ia harus kembali ke bungalo dan meninggalkan Re di tenda itu. Sendirian.

Egidia tahu. Perkenalan ini sebuah awal dari sebuah titian panjang masa remajanya yang kelak penuh warna.

Comment