Pelangi di Pantai Senggigi

Foto: Istimewa

“Kemana lagi, Re?” Egidia mendekati Re yang sibuk memasukkan perlengkapan avonturirnya.

“Lombok, Gi. Aku ingin mendirikan tenda di Senggigi,” jawab Re. Mencoba mangangkat ransel birunya sebelum mengencangkan tali tas itu.

“Sekolahmu?” Egidia menatap wajah Re lekat.

“Setelah ini usai, Gi. Percayalah. Aku pasti kembali ke bangku sekolah lagi,” Re tersenyum. Memberi kepastian kepada Egidia.

“Aku sering mendengar kalimat itu, Re. Entah yang keberapa. Dimulai sejak kamu bertualang ke Kanekes, travel ke Pedalaman Kalimantan sampai kamu harus dievakuasi karena terjebak kabut di Kerinci Seblat. Kalimat itu selalu kamu ucapkan sebelum kamu berangkat. Please, Re. Kamu hanya ingin menghiburku, kan?” Mata bening Egidia menatap lurus. Hinggap di wajah Re yang sejak dua tahun lalu menjadi sisi indah dalam perjalanan hidupnya.

“Sudahlah, Gi.” Re menghindari tatapan Egidia. Meraih gelas berisi kopi. Ditenggaknya sampai tandas.

“Atau katakan saja, Re. Kamu tidak akan pernah berhenti bertualang.” Egidia mencari kepastian.

“Dua tahun kita saling mengenal, Gi. Aku yakin kamu tahu betul siapa aku. Sifat-sifatku dan kebiasaanku….” Kalimat Re menggantung.

Egidia menggigit bibir.

“Aku seorang penulis, Gi. Mengertilah itu.”

“Oke. Aku tahu, Re. Tapi itu tidak bisa kamu jadikan alasan untuk selalu bertualang dan meninggalkan sekolah.”

“Aku butuh inspirasi.”

“Haruskah dengan cara itu?”

“Ya,” Re berjalan ke arah jendela. Kabut mengungkung vila kecil itu.

“Dulu sebelum kita saling menyatukan perasaan, aku telah jujur kepada kamu, Gi. Tentang semuanya. Tentang keluargaku yang broken. Tentang hobiku yang nyeleneh. Dan kamu menerimanya. Aku bahagia. Dua tahun sudah kamu mengerti aku sepenuhnya. Meski kamu harus membayar dengan mahal. Berpuluh-puluh malam Minggu harus kamu lalui dengan suasana sepi dan perasaan galau karena kamu memikirkan aku entah berada di mana. Dan kini mungkin aku akan maklum kalau kamu mulai bosan dengan suasana seperti itu.” Telunjuk Re membentuk coretan abstrak di kaca jendela yang mengembun.

“Bukan itu maksudku, Re.”

“Aku akan maklum kalau kamu akan meninggalkan aku.”

“Re?!”

“Sudahlah, Gi.”

“Ketahuilah, Re. Aku selalu mencemaskan kamu.” Ada embun di sudut mata gadis itu.

“Semalam aku memikirkan semuanya, Gi. Seperti sebuah dilema yang pahit. Di sisi lain, aku sangat mencintai kamu. Tulus! Tetapi di sisi lainnya lagi aku tidak ingin menyiksamu. Tidak ingin membiarkan masa remajamu berlalu tak pasti. Tidak ingin melihatmu termenung sendirian melepas akhir pekan tanpa kahadiranku.” Re menatap wajah gadisnya.

Comment