Perempuan yang Selalu Menggenggam Telur

Foto: Istimewa

“Kau harus berjanji, tidak akan pernah melepaskan sampai aku pulang, menjemputmu. Ini telur pertama dari ayam kesayanganku. Sebenarnya aku ingin memberikan ayam itu kepadamu. Untuk kau jaga. Tapi aku tahu kau tidak menyukai ayam. Maka kuberi telur ini. Kau harus menjaganya. Seperti kau menjaga rasamu hanya untukku. Buktikan kesetiaanmu dengan selalu menggenggam telur ini.”

“Permintaanmu sulit. Tidak mungkin telur ini terus berada dalam genggamanku. Pasti akan menghambat kegiatan sehari-hariku.”

“Tidak sulit jika kau punya niat.”

Perempuan itu menatap telur dalam genggamannya. Sebuah telur ayam kampung. Putih bersih. Ia bersumpah akan menjaganya. Selalu menggenggam. Seperti ia selalu menggenggam cinta laki-laki itu dalam hatinya. Siang-malam. Suka maupun duka.

***

Berita itu menyakitkan. Mampir berulang-ulang di telinganya. Ia tidak percaya. Ia percaya dengan laki-laki itu. Dengan ucapannya dulu. Laki-laki itu akan menjemputnya. Suatu hari. Entah kapan. Namun pasti.

Ia sanggup menjaga telur itu. Dua tahun berada dalam genggaman tangan. Dan laki-laki itu berada dalam genggaman hatinya. Meski tidak sedikit yang coba menggoyah. Ia tetap tegar. Meski harus diakui, terkadang ia goyah juga mengadang gempuran yang bertubi-tubi. Namun telur itu selalu mengingatkan. Menguatkan benteng pertahanan yang mulai melemah.

Meski surat dari laki-laki itu semakin jarang, timbul tenggelam. Akan tetap ia genggam.

“Aku mendengar sendiri dari ibunya. Ia sudah kawin di kota. Bahkan istrinya sudah hamil empat bulan.”

Perempuan itu menggenggam erat telur di tangannya. Namun tidak sampai pecah. Dua tahun berada dalam genggaman, ia tahu sebatas mana kekuatan yang harus ia beri agar telur itu tidak pecah.

“Ia sudah melupakanmu. Bahkan meninggalkanmu.”

Tidak mungkin. Ia tidak mau mendengar itu lagi. Terlalu menyakitkan.

“Biar kau percaya, singgahlah ke rumah orang tuanya. Lihat foto perkawinannya di sana. Karena kudengar, laki-laki itu mengirimkan foto perkawinan untuk orang tuanya.”

Tangan perempuan itu bergetar. Bibirnya bergetar. Pundaknya bergetar. Hatinya juga bergetar.

Namun, telur itu tetap ia genggam. Sebelum ia mendengar dari mulut laki-laki itu. Atau setidaknya, ia yang melihat sendiri.

***

“Lihat perempuan sinting itu. Sudah lebih tiga tahun dia selalu menggenggam telur itu.”

“Aku pikir termasuk hebat juga dia. Selama tiga tahun selalu menggenggam telur. Tidak pecah pula.”

“Aku tidak percaya telur yang digenggamnya itu adalah telur yang dia genggam tiga tahun yang lalu.”

“Aku percaya. Lihat saja warnanya sudah aneh begitu.”

“Dia begitu karena kekasihnya yang pergi merantau sudah menikah di kota.”

“Dia selalu menggenggam telur itu jauh sebelum kekasihnya menikah di kota.”

“Tepatnya, dia selalu menggenggam telur itu sejak kekasihnya merantau.”

Comment