Salju di Kyoto

Foto: Istimewa

Tiba-tiba saya merasa pundak saya ditepuk dari belakang. “Taufiq-san, kapan datang?”

Saya berbalik. Suara itu… suara yang amat saya kenal. Seperti bergema dari jarak yang teramat jauh. Tapi, tidak! Asako berdiri di depan saya dengan wajah dan senyum yang nyaris tak berubah. Wangi parfumnya menyerbu akrab ke hidung saya.

Kami saling berpelukan melepas rindu. Setelah itu, kami masuk ke restoran dan menempati meja dan kursi yang kami duduki dulu. Kami saling bertukar cerita. Saya menuturkan kegiatan saya, termasuk kelucuan putra saya, Rahmat. Si kecil itu hasil pernikahan saya dengan Sri, tiga tahun lalu. Asako lebih banyak diam dan memberi kepada saya kesempatan berbicara lebih banyak. Mata Asako terlihat lebih cekung, seolah menanggung beban kesedihan yang berat.

Keindahan dan kejernihan Danau Kurobe tidak terlihat lagi di matanya. Saya merasa telah ada sesuatu yang tragis terjadi pada dirinya.

“Berbahagialah Anda, Taufiq-san. Kehidupan perkawinan Anda harmonis. Sayang, saya tak seberuntung Anda,” kata Asako pelan. Ia seperti ingin mengungkapkan sesuatu yang sulit diutarakan.

“Ada apa, Asako-san? Katakanlah apa yang telah terjadi?”

“Saya berkenalan dan menikah dengan Tamura, salah seorang karyawan perusahaan sekuritas di Tokyo, tiga tahun silam. Setelah itu, semuanya berubah. Saya ikut suami saya ke Tokyo. Ruang gerak saya mulai dibatasi. Saya hanya diberikan otoritas mendidik anak kami, Kimiko. Saya diminta berhenti dari pekerjaan saya dan hanya bekerja di rumah. Semua itu saya lakukan semata-mata untuk bakti saya kepada suami.”

Saya diam menyimak.

“Tapi, yang terjadi kemudian sangat menyedihkan. Tamura menyeleweng dengan seorang gadis geisha di kedai minum langganannya. Ia mulai jarang pulang ke rumah. Dan, yang paling menyakitkan, Tamura sering mabuk, bahkan memukuli saya tanpa sebab. Saya tidak tahan dan minta cerai. Saya lalu kembali ke Kyoto, membawa serta Kimiko. Saya baru tiba di sini, tiga hari yang lalu. Sekarang, saya tinggal di rumah kakak laki-laki saya. Saya tidak tahu, mengapa nasib saya seburuk ini, Taufiq-san,” tutur Asako terbata-bata. Anehnya, ia tidak mengeluarkan air mata. Hanya wajahnya terlihat lebih tua dan layu. Ia kelihatan begitu menderita.

“Taufiq-san, saya tidak menyangka dapat bertemu dengan Anda kembali di sini. Anda masih ingat cerita saya tentang salju?” Asako memandang saya lekat-lekat.

“Ya, Asako. Bagaimana saya dapat melupakannya? Saat itu, di tempat kita berada sekarang, kamu berkata, bukankah pada akhir musim gugur mendatang, salju baru akan turun lagi? Apakah bagimu kalimat itu berarti?”

“Sangat berarti, Taufiq-san. Kalimat itu saya ucapkan sebagai ekspresi kasih sayang saya kepadamu. Ketika saya berkenalan dan menikah dengan Tamura, saya menyangka telah menemukan ‘salju baru’ yang indah. Tapi ternyata, saya salah menafsirkan cinta Tamura. Dalam banyak hal, Anda memiliki kepribadian yang saya dambakan. Saya telah melewatkan kesempatan menikmati keindahan salju cinta Anda. Itu suatu kekeliruan besar!” ujar Asako sambil menundukkan wajahnya, menekuri lantai restoran.

Comment