Sepanjang Braga

Foto: Istimewa

Aku membuang pandang dengan batin gelagapan, mencari-cari lelaki yang tadi ikut mengagumi lukisan adikaryamu itu. Ia telah menghilang. Susah payah, aku beringsut, menjauhi gambar yang nyaris menyulapku menjadi arca….

“Mengapa masih juga sendiri?” Pada langkah berikutnya, suaramu dari masa lampau kembali mengiang.

Kutelan ludah ketika kurasakan sebuah pusaran besar kembali menyeretku ke tengah. Lukisan berikutnya berjudul ‘Kayu Bengkoang’. Sebuah tenda kakilima yang menyajikan seafood di pesisir Losari, Makassar. Ada dinding toko yang menjulang di kiri-kanannya. Meja-meja diletakkan memanjang. Pada salah satu bangku belakang kita pernah mengobrol berdua, mengais-ngais kenangan yang tersisa dari Braga.

Jauh di belakang hari, saat usiaku nyaris dua puluh, Arie – teman kuliahku sering menyangsikan, “Belum pernah pacaran?” Matanya meledek.

Aku harus bilang apa? Kenyataanya, aku memang belum bisa mengidentifikasi seperti apa sebetulnya mencintai itu. Sampai suatu ketika seorang laki-laki jangkung tiba-tiba berdiri di depan pintu ruang tamu. Ia teman kakakku. Ia juga menyapaku dengan kalimat, “Halo, Adik Manis!” Dan kurasakan, hawa Braga menguar di seputarku.

Ia mirip kamu. Setidaknya, kamu dalam bayangan idealku. Kalian pun sepantar, tujuh tahun di atas usiaku. Begitu banyak persamaan yang kujumpai. Sampai akhirnya aku memutuskan: aku tidak selamanya harus menjadi ledekan Arie.

Saat itulah kamu mengabariku cerita yang berbeda dari biasanya. “Barangkali aku tengah jatuh cinta sekarang,” tulismu. “Kami sudah bertemu dua puluh delapan kali, tapi baru tiga kali berbicara. Cinta platonis?”

Kutahan ceritaku sendiri tentang sosok jangkung itu. Aku bilang, “Aku senang mendengarnya. Mas harus berusaha terus, tidak boleh nyerah.”

Hampir satu tahun berikutnya, aku mendapatkan sebuah undangan warna sepia yang dikirim dari Bandung, berlatar lukisan. Aku terpana justru bukan karena undangan itu dirancang demikian artistik, tapi oleh sebuah keajaiban cinta. Aku pikir, ternyata demikian sederhana prosesnya. Jatuh cinta, dan kemudian menikah. Tapi aku tidak merasakan kehilangan. Mungkin karena sosok jangkung yang membungkus bayanganmu itu sangat rajin meronce mimpi dalam tidurku.

Barangkali juga karena jarak kita jauh. Atau, karena aku tidak pernah berani memberikan tempat bagi pikiran yang ingin mencoba menganggapmu lebih dari seorang kakak.

Nyatanya, tidak semua cerita cinta itu mulus. Ada yang rumit, menurutku. “Kami hampir bertunangan, tapi akhirnya memilih berpisah. Empat tahun akhirnya seperti sia-sia,” tuturku di puncak nyeri. Saat itu kita di ‘Kayu Bengkoang’, dan kamu menemukan air mata dalam suaraku.

“Tidak ada yang sia-sia. Setiap persoalan menyembunyikan hikmah,” tatapanmu teduh. “Hanya, kalau boleh Mas tahu, kenapa memilih berpisah?”

Naif jika kini aku masih memirip-miripkan kalian. Karena, ternyata dia yang kukenal demikian cupat dan posesif. Mungkin aku mencintainya sungguh-sungguh. Tapi tidak sanggup menjadi bara yang memanaskan tungku kecemasan agar terus menyala. Aku merasa dunia terlalu luas jika hanya dilewatkan berdua.

“Mestinya ada suatu titik temu yang bisa dicari!” tukasmu.

Ya, mestinya….

Aku menggigit bibir. Bertepatan dengan itu, seseorang menyenggol lenganku, melontarkan aku keluar dari pusaran lukisan. Dalam sekejap, ‘Kayu Bengkoang’ lepas dari bayangan. Ketika menoleh kembali, lukisan itu telah diam. Kerongkonganku perih. Lalu kurasakan, suhu udara meningkat dalam ruang pamer seiring dengan kian bekunya seluruh sendi-sendi tulangku. Pengunjung masuk tanpa putus.

Comment