Sepanjang Braga

Foto: Istimewa

“Aku capek…,” kesahku perih. Puluhan lukisan berikutnya adalah potongan-potongan episode yang demikian akrab dengan catatan harianku. Juga ketika aku harus patah hati untuk kedua kali. Dan kamu mengabadikannya dalam lukisan di bawah judul ‘Kidung Ungu’.

“Aku capek, Mas!”

“Tidak boleh seperti itu! Aku percaya kamu kuat. Kamu harus yakin bahwa begitu banyak orang yang mengasihimu,” tanganmu terulur menyentuh pipiku.

“Aku kehilangan lagi….”

“Tapi tidak semua. Ada yang bahkan kehilangan semuanya!”

Aku mencari matamu. Dan kamu mengangguk tulus. Lalu, tiba-tiba saja aku ingin menangis di dadamu….

Aku terus menyeret langkah. Kurasakan seluruh dinding bergoyang. Lampu-lampu benderang. Seluruh wajah dalam lukisan seketika menjadi hidup. Aku berlari dari satu peristiwa ke peristiwa berikutnya. Menikmati tawa, canda, dan air mata. Sampai akhirnya seluruh warna-warni mengalami konvergensi, membentuk episode yang utuh. Aku mendengar suara-suara masa lalu kian nyaring memanggil. Aku terseret lagi ke tengah pusaran, terengah, dan akhirnya tersesat pada lukisan keseratus. Pada lukisan terakhir itu, kutemukan garis wajahku yang utuh. Di bawahnya terdapat coretan: seluruhnya kudedikasikan kepadamu. Adakah yang melebihi kekuatan dan dorongan untuk berkarya, kecuali cinta?

Kurasakan tubuhku bergetar hebat.

Gigil tak menyiasakan sedikit pun ruang yang bisa menyodori hangat. Tapi, leherku melelehkan peluh. Dan, tiba-tiba aku mengendus aroma Braga yang kental. Aku merasakan suatu ekstasi ketika membayangkan kembali rengkuhanmu di sepanjang jalan, merasakan ciumanmu….

“Terima kasih karena kamu mau datang…,” pemilik seratus lukisan itu – kamu – tiba-tiba telah berdiri di hadapanku.

“Aku…,” seluruh jemariku basah dalam genggaman.

“Mas mohon maaf karena menggelar pameran ini tanpa seizinmu….”

Aku menggeleng-geleng. “Aku…,” kusembunyikan mataku yang merebak. Sendi-sendiku serasa makin ngilu.

“Kamu berhak untuk protes!” Kamu mencari mataku.

Dan ketika kudengar suara Baby, gadis kecil yang dulu pernah kamu kirimkan potretnya saat masih bayi. Suaranya yang runcing dan riang membelah perhatian, memanggil-manggil ayahnya. Aku menyalaminya, sebelum akhirnya kuputuskan untuk segera melarikan diri dari tempat itu.

Aku tahu, saat ini kita tidak boleh terlibat lebih jauh. Cinta boleh datang dan pergi tanpa harus saling melukai. Hati manusia mungkin seperti jagat raya, yang mampu membagi dirinya dalam sejumlah dimensi musim. Aku tahu, kamu bukan tidak sedang mencintai perempuan yang melahirkan Baby.

Kalau ada hal yang patut kusesali saat ini, satu-satunya adalah: mengapa hanya untuk menumbuhkan sebuah kesadaran tentang cinta, mesti diperlukan waktu sepuluh tahun dan seratus buah lukisan?

Comment