Sepanjang Braga

Foto: Istimewa

Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Atas nama cinta, tidak ada yang sulit untuk seorang Feliciano yang ditakdirkan menjadi kaya sejak dalam buaian. “Jika itu yang membuatmu bahagia,” bisiknya dalam bahasa Indonesia yang sempurna.

Masalah kita selesai? Ternyata tidak. Padahal, peristiwa itu lima tahun silam. Feliciano bahkan mungkin lupa bahwa seratus lukisan itu dulunya adalah sebuah maskawin. Ia bukan kolektor yang baik – meski ia berburu lukisan hingga ke seluruh penjuru angin dan mengoleksi sedikitnya satu dari lukisan para maestro. Ia lebih tepat disebut investor – adrenalinnya terpacu setiap kali mendengar kabar tentang lelang lukisan. Kecuali… ya, kecuali menyangkut percakapan subuh itu.

“… aku ingin memamerkannya, Honey!”

“Apa?” Ia terlonjak. Hanya sekejap. Setelah itu, pupil matanya yang kebiruan berpendar jenaka. “Sudah tidak cinta hingga maskawin saya mau ditawarkan?”

Aku memandangnya takjub. Ia ternyata ingat. Padahal, sepanjang lima tahun, Braga tidak pernah bergeming dari salah satu ruang di galeri kami. Diperbincangkan pun tidak. Seolah aku dan Feliciano sepakat bahwa lukisan itu sudah bercerita banyak lebih dari apa yang bisa kami bahasakan. Ia simbol pertautan hati kami.

Tapi, bukankah Feliciano selalu antusias mempersoalkan sejumlah dolar atau rupiah untuk sebuah lukisan? Siapa tahu selama ini ia hanya sungkan kepadaku.

“Pamerkan saja yang lain. Kamu tahu, Andrew berani menawar sangat tinggi untuk Affandi dan Arie Smith yang kita beli di Balindo tempo hari…. “

“Aku…,” kerongkonganku panas. “Aku hanya bermaksud menandai lima tahun pernikahan kita. Bukan untuk dijual….” Apapun yang terjadi, lukisan itu tidak akan pernah kujual!

Sesaat ia terkesima. Tapi jenak berikutnya ia memelukku sembari bergumam. “Bagaimana jika ada yang menawar?” Jemarinya menyusup lembut ke rambutku. “Tapi, terserah kamu. Lukisan itu milikmu. Meskipun, buat aku, lukisan itu sungguh berarti….”

Aku menggigit bibir, terasa pahit. Sementara di luar, hujan menenggelamkan subuh. Melalui gorden yang tersingkap, aku menyaksikan rimbun air menempel dan meluruh di kaca jendela. Aku menyurukkan kepala lebih dalam. Balik memeluknya erat. Di sudut mata, kurasakan ada sebutir embun tersesat.

Comment