Sepanjang Braga

Foto: Istimewa

Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Lalu, engkau akan kehilangan bentangan episode Braga. Risalah kita berakhir. Seperti buku yang terkatup rapat. Engkau kemudian akan menggoreskan lukisan baru bersama Chiara, dan aku menjemput impian hari esok bersama Feliciano.

Ternyata tidak sesederhana itu. Karena sejak peristiwa itu, hujan kenangan justru menderas di salah satu sudut galeri. Tempat itu hanya berjarak lima meter di seberang pandangan. Feliciano membangunnya – maksudku merenovasi dan memperluas galeri – hanya sebulan setelah kami menikah. Dan ia menata Sepanjang Braga pada ruangan terdekat dari kamar tidur kami – ruang yang terletak pada sudut kiri belakang dari keseluruhan ruang pamer – dengan sebidang dinding menghadap kamar yang sepenuhnya terbuat dari kaca.

“Aku ingin seratus lukisan itu bisa kamu nikmati kapan saja kamu mau,” tuturnya. Dan aku mendengar gemuruh di dadaku.

Ya, kenangan itu selamanya menderas. Feliciano – sesungguh cinta – mengembalikan jejak langkah kita ke dalam genangan hari lampau. Setiap kali menghikmati Braga, tanpa mampu kucegah, jiwaku mengapung, atau hanyut, bersijingkat, dan melompat-lompat. Menarikan luka…. apakah aku terluka?

Entahlah. Hanya, aku selalu merasa ada getar batin yang selalu gagal kuurai. Siapa sesungguhnya kamu bagi jiwaku? Dan siapa Feliciano bagi hidupku? Apa begitu sulit membenamkan kenangan kita ke sarang waktu – menganggap Sepanjang Braga tidak lebih seperti lukisan-lukisan lain? Bukankah hari ini dan esok adalah milik Feliciano? Tidakkah hari kemarin cukup bagi kita berdua? Tidak ada yang salah dan keliru dalam diri lelaki Filipina-Perancis yang kupilih sebagai pendamping hidupku itu. Ia mencintaiku sepenuh jiwa. Bukankah itu lebih dari cukup?

“Besok malam ada pembukaan pameran di Galeri Maxima. Ikut?”

Lihatlah, mata birunya senantiasa memancar hangat. Feliciano tahu persis kalau aku begitu mencintai lukisan.

“Pameran siapa?”

“Bambang Prasadhi.”

Dan kusambut dengan sukacita.

Tapi itu dulu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba aku menyadari ada hari di mana engkau menghilang dari komunitas pelukis. Mungkin sejak Sudjana Kerton memamerkan ‘Di dalam Oplet’ di Galeri Cemara, Agustus 2001 – pameran pertama yang kukunjungi setelah menikah dengan Feliciano. Atau bahkan sebelum itu.

Yang jelas, beribu hari setelah kesadaran itu, aku tidak bisa menahan diri. Meski bersama Feliciano, aku melakukan kembara diam-diam – mengais jejakmu. Nyaris tidak ada undangan pameran yang terabaikan. Dari Bentara Budaya ketika Nyoman Erawan menggelar ‘Pralaya’ – hingga Museum Bank Indonesia ketika CP Bienalle 2005 ‘Urban Culture’ yang menghebohkan itu digelar. Barangkali saja wajahmu menyembul di antara rupa seniman, atau di antara pengunjung.

Tapi sia-sia. Jejakmu tak berbekas! Sampai perih mataku. Sampai perih jiwaku.

Apakah engkau sembunyi dalam basah luka? Hingga engkau tak lagi kuasa sekadar menghirup aroma cat….

“Aku hanya ingin memberi tahu bahwa Sepanjang Braga sudah menjadi milikku. Seluruhnya, Mas! Feliciano membelinya untukku, sebagai maskawin, atau kami tidak pernah menikah!”

Itu rahasia yang kuungkap lebih dari lima tahun silam di hari terakhir pameranmu. Aku tahu, petugas galeri itu hanya bercerita: seorang warga asing memborong Sepanjang Braga di hari pertama pameran.

Tapi aku… aku tidak pernah bermaksud memberangus jiwamu! Sedikit pun aku tidak pernah berharap bahwa engkau akan berhenti melukis setelah peristiwa itu. Bukankah kita pernah sepakat untuk tidak saling melukai? Bukankah….

“Honey, sepertinya, pameranmu bisa terselenggara. Caesar Palace Bandung kosong pada hari yang kamu rencanakan.”

“Really?” Aku terlonjak.

Feliciano mengangguk. Aku memeluknya senang. Di belakang punggungnya, mataku berkabut.

Comment