Surga dalam Dekapan

Foto: Istimewa

Maka aku ingin jatuh cinta. Aku mau merasa bodoh dan melakukan segala kekonyolan yang dilakukan dua insan yang dimabuk cinta. Aku ingin bisa merasakan keinginan untuk mengorbankan apapun yang kumiliki demi melihat seberkas senyum di wajah kekasihku. Tapi itu dulu. Jauh sebelum aku mengetahui bahwa jatuh cinta memang sungguh memiliki arti harafiah. Tak lebih dan tak kurang, jatuh, karena sebab apapun, pasti menyakitkan. Seseorang harus siap dengan lebam dan luka yang ditimbulkannya. Dan kalau kau siap jatuh cinta, maka demi Tuhan, kau juga harus siap dengan sakit yang ditimbulkannya.

Detik itu tak mungkin hilang dari ingatanku. Penantianku berakhir di detik itu. Sosok yang biasa, dengan kepribadian yang luar biasa. Senyum salah tingkah menjadi memori yang menandai pertemuan awal itu. Konyol dan tolol, sampai detik ini aku masih sering tersenyum-senyum sendiri bila mengingatnya. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan caranya memperkenalkan diri?

***

Dulu yang Jadikan Kini

“Chris,” ujarnya sambil menyodorkan tangan.

“So, you’re full name is Merry Christmas? Or is it Christmas Tree?” kataku bercanda.

Aku terlanjur gemas melihat mata birunya dan tak tahan untuk memberikan komentar yang akan membuatnya semakin salah tingkah. Mungkin sedikit memaksa, tapi menurutku komentar itu lucu sekali!

“No… no…. Not Merry or Tree, but White. White Christmas.” Raut wajahnya sama sekali tak berubah saat dia mengucapkan kalimat itu.

Giliranku yang kebingungan. Harus pasang muka seperti apa untuk menanggapi nama seperti itu?

“Hahahaha…. No, just kidding. It’s Christopher Morrison.” Diiringi tawa sangat keras yang meledak dari mulutnya.

Aku yang sempat kebingungan, kemudian ikut tertawa bersamanya. Itu memori pertamaku tentang dia. Kalau tidak dipertemukan di sebuah welcoming party yang sangat membosankan, mungkin aku tidak akan punya kesempatan untuk mengenalnya sama sekali.

Chris bekerja di sebuah LSM internasional yang memberikan bantuan dalam pembangunan rumah-rumah penduduk yang terkena bencana gempa bumi di Yogyakarta. Mereka mengatur penggunaan dana bantuan yang diberikan pemerintah Australia bagi para korban bencana di Indonesia.

Pesta penyambutan yang super membosankan itu sebenarnya ditujukan untuknya dan beberapa kolega yang baru saja tiba di Jogja. Sayangnya, pesta itu tidak ditangani dengan serius, sehingga acara pun berlangsung sedikit basi. Untung saja pesta itu dipenuhi makanan-makanan enak khas Jogja. Pertemuan pertama kami pun terjadi di meja prasmanan. Setelah perkenalan yang aneh itu, kami menghabiskan malam dengan mengobrol di teras, sambil menikmati wedang jahe yang menghangatkan tubuh.

Malam itu jadi pembuka menuju suatu hubungan yang cukup membingungkan. Paling tidak bagiku. Hampir setiap hari setelah welcoming party itu, aku dan Chris menghabiskan waktu bersama-sama. Mulai dari nonton DVD bajakan di rumahnya, ngopi di kafe hingga makan nasi kucing di angkringan, Chris dan aku tak terpisahkan. Kami bicara tentang apa saja.

Comment