Surga dalam Dekapan

Foto: Istimewa

Aneh, dulu aku selalu merasa bahwa orang yang berasal dari negara Barat tentunya akan memiliki perbedaan prinsip yang cukup mendasar, dan oleh karenanya akan sulit sekali untuk berdiskusi dan mengobrol layaknya teman. Belum lagi soal gaya hidup dan kebiasaan. Dengan kata lain, aku terlalu banyak nonton film buatan Hollywood, karena ternyata kami berdua dapat bicara tentang apa saja. Apa saja! Di satu titik, aku bahkan merasa dia telah kukenal sepanjang hidupku.

Soal gaya hidup dan kebiasaan, aku menemukan beberapa hal yang cukup membuatku terkejut. Tentunya setiap orang memiliki kebiasaan masing-masing, namun seperti yang telah kukatakan, berkat budaya konsumerisme terhadap produk Hollywood, aku dikejutkan beberapa hal yang meluluhlantakkan streotip yang telah terbentuk di kepalaku. Seperti saat kami makan malam berdua untuk pertama kalinya dan sebuah episode Friends terus-menerus terulang di kepalaku.

“Joey doesn’t share food!” Kalimat itu menjadi peganganku selama makan malam berlangsung. “Jangan mengambil apapun yang dia pesan. Makan makananmu sendiri,” ulangku dalam hati. Aku tidak ingin merusak citraku di dirinya.

Namun apa yang terjadi? Saat main course dihidangkan, dia mengambil garpu dan mulai mencomot makanan dari piringku! As if that wasn’t enough of a surprise, saat dessert, dia meminta dua garpu dan memintaku berbagi dengannya. Chris adalah seorang manusia, sama seperti aku. Itu momen di mana aku sungguh menyadarinya.

Chris adalah pribadi yang sangat mempesona. He’s not a ladies man, tapi dia mengerti caranya membuat seseorang merasa sangat berarti. Lewat tatapan mata dan kata-kata yang dipilihnya, aku merasa mendapatkan sebuah kasur empuk yang membuatku tidur terlelap dengan aman di atasnya.

Awalnya, hubungan kami terasa lebih menyerupai pertemanan dengan rambu-rambu tak kasatmata yang membuat kami bebas mengirim sinyal-sinyal tak terdefinisi ke satu sama lain. Sangat menyenangkan. Sebuah tantangan yang membuatku terus bergerak dan bangun dengan tersenyum. Dia menjadi salah satu alasan utamaku untuk membuka mata di pagi hari dan merasa bahagia.

Chris sukses mengubah segala pola pikirku tentang manusia putih yang jamak disebut “bule” dalam khasanah bahasa informal yang dimiliki bangsa tercinta. Dengan naifnya aku sempat berpikir seorang bule akan dengan gampang melakukan hubungan seks, atau paling tidak mencoba mendapatkan kontak fisik dalam bentuk apapun.

Untuk yang satu ini aku patut merasa malu dan menenggelamkan diri dalam pasir hisap, karena tidak sekalipun, dalam tiga bulan kebersamaan, Chris mencoba melakukan sesuatu kepadaku. Bahkan, tidak ada usaha untuk merangkul atau bahkan memegang tanganku! Seorang teman bahkan menanyakan kepadaku apakah Chris adalah seorang gay karena dia tidak sekalipun mencoba menyentuhku. Aku menjawabnya dengan tawa. Aku tidak tahu jawabannya. Tapi sesuatu dalam diriku mengatakan bahwa bukan itu masalahnya.

Comment