Surga dalam Dekapan

Foto: Istimewa

Walau begitu kami terus berteman. Kami tetap mengobrol, saling mencomot main course, berbagi dessert, menatap dan tertawa. Kami adalah pasangan yang tak terdefinisi. Bukan puisi, karena tak ada bait yang cukup indah di dalamnya. Bukan juga sebuah lagu sendu, karena tak ada ekspektasi yang obsesif di dalamnya.

Kami hanya sepasang manusia yang senang menghabiskan waktu berdua. Belum waktunya mendefinisi. Kami tidak ingin kehilangan kebersamaan itu. Paling tidak itu yang ternyata dirasakan oleh Chris, karena aku sibuk dengan diri yang semakin nyaman tenggelam dalam tatapnya.

Saat waktunya kembali merobek selembar lagi kertas kalender di 2006, aku menyadari bahwa kedekatanku dengan Chris sudah berusia empat bulan. Jogja bukan kota yang besar. Tak sulit untuk mengetahui muka-muka yang berseliweran di dalamnya. Tak ubahnya bagiku dan Chris. Orang mulai menganggap kami sebagai sebuah entitas. Kesatuan yang tak terpisahkan. Sebut nama Chris dan otomatis aku pun tersebut. Begitu juga sebaliknya. Seperti sebuah nama panjang yang sama sekali tak masuk akal.

Maka saat seorang teman menanyakan apakah aku akan mengajak pacarku ke pestanya, aku pun tergagap.

“Siapa yang kamu maksud dengan pacarku?” tanyaku ragu, walau dengan semburat rasa yang membuat wajahku merona.

Saat yang sangat membingungkan, mengingat aku tak sepenuhnya mengerti cara mendefinisi hubungan kami. Raut wajahku tak tertebak. Jawaban sang teman tentunya bisa. Kejadian seperti itu terulang beberapa kali. Salah satunya bahkan terjadi saat Chris sedang bersamaku. Dan tanpa diduga, dia memberi jawaban yang sangat pasti terhadap ketidakpastianku.

“Oh no, you got the wrong idea here. We’re just friends,” Chris mengatakan kalimat terakhirnya dengan kemantapan yang membuatku bisa mendengar suara patah yang berasal dari dalam dadaku.

Dalam satu kalimat, Chris mendefinisikan kami. Bukan puisi, bukan lagu sendu. Kami hanya teman. HANYA.

***

Maka detik itu juga kuputuskan untuk melanjutkan hidupku. Kalau kami hanya teman, maka aku harus terus mencari cinta yang akan membuatku merasakan ribuan kupu-kupu yang akan membuat perutku kegelian. Setitik ngilu yang berasal dari dalam dada masih sempat terasa, namun kualihkan pikiranku ke hal yang lain. Chris terlihat begitu tenang, maka kuputuskan untuk bersikap sama. Tak ada gunanya bertanya. Aku sudah mendapatkan jawaban.

Aku tidak mengurangi intensitas pertemuan dengan Chris, namun setelah kejadian itu, aku juga tidak menutup kemungkinan untuk mencoba mengenal orang-orang yang ingin mengenalku lebih dekat. Salah satunya adalah Etienne, seorang Perancis, yang kebetulan bekerja di LSM tempat Chris bekerja. Etienne seseorang yang sangat baik. Lucu dan sangat impulsif. Jauh berbeda dengan Chris. Jiwa yang bebas dan tak kenal basa-basi.

Sekali waktu dia “menculikku” dari sebuah pesta yang diadakan Chris. Duduk berboncengan di atas Vespa bututnya, Etienne membawaku berkeliling setengah Kota Jogja. Kami tertawa-tawa dan benar-benar merasa bebas. Namun aku tidak merasakan “klik” yang sama seperti yang kurasakan dengan Chris. Ah, siapalah aku untuk membandingkan dua manusia yang tak boleh dibandingkan itu? Aku hanya senang mendapat kesempatan untuk merasakan angin menerbangkan rambutku.

Comment