Surga dalam Dekapan

Foto: Istimewa

Sekembalinya ke tempat Chris, si Mata Biru itu sudah menunggu di teras rumahnya dengan wajah yang tidak terlalu bahagia.

“Where were you guys? I’ve been worrying sick. You didn’t have a helmet on, you didn’t even pick up my calls.” Nada kecewa dan kesal jelas terdengar di suaranya.

“I didn’t bring my phone with me, Chris. And everything’s OK, we didn’t go far,” ujarku berbohong. Aku tidak mengerti mengapa Chris bersikap seperti itu. Setelah itu dia masuk ke rumah dan menghilang. Aku tahu di mana dia selalu “menghilangkan” diri dari dunia, maka aku menyusulnya setelah berpamitan dengan Etienne.

“What’s wrong, Chris? I’m OK. Etienne was nothing but nice to me. You have nothing to worry,” ujarku berusaha menenangkan.

Aku tidak yakin betul apa yang sesungguhnya membuat Chris kesal. Dia hanya menatap ke arah langit dan tidak mengatakan apapun. Tiga puluh detik setelahnya kuhabiskan dengan mengagumi wajahnya. Da sempurna. Entah hati yang menyempurnakan wajahnya, atau wajah yang menyempurnakan hatinya. Mata biru itu, yang membuatku terpana saat pertama kali berkenalan dengannya, kini nanar menatap bulan yang jauh tak terjamah.

“Ada apa, Sayang?” ujarku dalam hati. Betapa aku ingin mengucapkannya keras-keras.

“Christmas Tree, tell me what’s wrong. I’m sorry for being so inconsiderable to you. But I didn’t mean to worry you. I really didn’t.” Aku masih terus mencoba membuatnya bicara dan dia masih menatap langit kelam dengan kedua mata biru yang indah itu. Aku mulai putus asa. Maka aku putuskan untuk duduk di sebelahnya dan turut tenggelam dalam kemisteriusan malam.

Tanpa diduga dia mulai bicara, “It’s not that. I was so jealous. I was crazy jealous when you went off with Etienne. I literally went numb and felt like I was going to die. I lost something that I couldn’t even describe.”

Jawaban itu membuatku tercekat. Cemburu? Bukankah kamu yang bilang kita hanya TEMAN?!

“There’s something I haven’t told you and it’s killing me inside,” lanjutnya lagi dengan suara terbata. Dia menarik pandangannya dari langit dan memandangku tepat di mata, bersiap untuk mengatakan yang ingin dia katakan. “I have a girlfriend back in Australia,” ujarnya setengah menggantung.

Paling tidak kini aku tahu da bukan gay. Aku tidak tahu mana yang lebih buruk. Aku kembali mendengar suara patah yang berasal dari dadaku. Kini ditambah sesuatu yang terasa menyempit di saluran pernapasanku. Aku seharusnya sudah tahu kalau dia punya seseorang di sana.

“Let me tell you why it’s killing me. You are the reason I wake up every morning. To know that I would eventually meet you everyday keeps me sane. And there’s nothing I want more than holding you tight in my arms. Please understand that I feel so guilty for this feeling, but I need to be honest,” ujarnya mencoba menjelaskan.

Kali ini dia tidak menatap mataku. Aku masih tercekat dan merasa bahwa ini bagian dari mimpi yang sangat aneh. Entah mana yang membuatku lebih kaget. Kenyataan bahwa dia punya pacar, atau bahwa aku adalah alasannya membuka mata setiap hari.

Aku memutuskan untuk tidak mengatakan apapun. Kata-kata adalah ujung tombak kehancuran bila tidak dipilih dengan hati-hati. Maka aku hanya menyenderkan kepalaku di pundaknya. Berharap dia tahu bahwa aku merasakan hal yang sama. Berharap dia mendengar suara patah yang berasal dari dalam dadaku. Aku tidak akan bertanya mengapa atau bagaimana. Aku hanya ingin menikmati keheningan ini. Aku tidak butuh kata-kata untuk membuatnya mengerti. Itu sesuatu yang kini aku sadari.

Comment