Tak Ada Cinta di Singapura

Foto: Istimewa

Buktinya, matanya sempat berkaca-kaca saat itu. Ya, meskipun dia menutup-nutupinya, tapi aku tahu dia sedang sedih. Jadi, aku tidak berani bertanya macam-macam lagi, takut dia jadi gelap mata. Jangan-jangan kena gampar karena keceriwisan.”

“Masa sih dia selembek itu? Padahal, orangnya kelihatan cool banget.”

“Aduh, Non. Kalau bicara soal cinta, permen batang cokelat saja bisa jadi batangan emas.”

“Tapi, Marcel….”

“Marcel juga manusia, kan? Buktinya, dia naksir kamu. Dan ngotot aku dapat nyomblangin dia ke kamu.”

“Tanpa pengecualian untuk si Manusia es itu?”

“Tentu saja. Cinta itu anugerah. Kamu, aku, dan semua penghuni planet biru ini kan merupakan buah dari cinta dan kasih sayang. You, know?”

“Iya, Nek. Aku mengerti.”

Ada bunyi klakson yang mengusir lamunannya. Sejenak dia kemekmek. Merasa dirinya hilang di tengah rimba kota.

“Kita sudah sampai, War.”

***

Suasana kafe tidak terlampau ramai. Hanya tampak beberapa anak ingusan berpredikat ABG sedang mengoceh tentang selebriti idola pujaan masing-masing. Sementara itu, musik melantun energik. Ada irama latin dari petikan gitar elektrik Santana yang terdengar mengentak. ‘Corazon Espinado’-nya menyatu dengan oksigen di dalam ruangan kafe. Asyik sekali.

“Kamu sakit?”

“Uh, eh… tidak.”

“Mungkin kamu kecapekan, sedari tadi menunggu kami. Sorry, ya?”

Kami yang dimaksud Marcel adalah dia dan Nindy. Memang, mereka tadi bersamaan menjemput Mawar di rumahnya. Tapi, setelah di dalam mobil Marcel, Nindy tiba-tiba turun mencegat taksi, dan bilang ingin beli shampo di Bekasi.

“Bu-bukan….”

Pemuda itu tampak santai. Sudah lama dia tidak bertemu dengannya. Nyaris dua bulan dihindarinya pemuda itu. Diam-diam diliriknya pemuda itu tengah memesan menu makanan. Dia kelihatan semakin dewasa. Tingkahnya yang berwibawa itu malah menyudutkan dia dalam kekikukan. Dan dia hanya dapat mengangguk menjawabi setiap pertanyaan dari pemuda itu.

“Minum apa?” Marcel bertanya kepada Mawar, setelah ia memesan jus avokad.

“Sama.”

“Eh, War, sorry ya karena menyita waktu kamu. Kamu sedang tidak banyak pe-er, kan?”

“Tidak, sih. Ta-tapi… Nindy….”

“Hahaha, anak itu lucu,” pemuda itu terbahak. “Dia ngerjain kamu.”

“Pasti akan kubalas, nanti.”

“Rupanya, kamu pendendam, ya?”

“Habis, dia jahat, sih!”

“Sorry. Sebenarnya, ini ide dari aku. Dia hanya broker. Jangan salahkan dia.”

“Ta-tapi….”

“War, aku sengaja minta dia agar dapat mengatur pertemuan kita. Only you and i.”

“Tapi, dia kan sudah janji kepadaku, acara JJS ini bertiga.”

Comment