Hudaibiyah, Mekkah, dan Pengampunan Pajak

Foto: katadata.com

Secara politik, sebenarnya kurang populis karena belum menimbulkan efek langsung kepada masyarakat dalam waktu dekat, namun itu menjadi penting untuk mempersiapkan pondasi ekonomi bangsa agar mampu bersaing di era “perang pasar” nantinya.

Pembangunan infrastruktur selama lima tahun ini, menurut pemerintah memerlukan dana sebesar Rp 4.000 triliun, sementara APBN hanya bisa menyiapkan Rp 1.000 triliun. APBN kita masih tersandera gaji para birokrat yang juga tidak bisa dianggap sepele, karena kesejahteraan pegawai (walau mungkin kecil implikasinya) diperlukan untuk menekan korupsi dan meningkatkan profesionalisme para pegawai.

Pertanyaannya, dari mana kita mendapatkan anggaran untuk infrastruktur itu? Utang luar negeri adalah salah satu jalan yang dibolehkan negara, namun bukankan ke depannya bisa jadi menyandera kepentingan kita sebagai bangsa? Sementara, ternyata di luar sana banyak orang kaya kita yang memarkir dananya, kenapa tidak kita manfaatkan itu saja? Di sinilah Amnesti Pajak menjadi penting, pemerintah butuh dana cepat.

Mari kita lihat syarat-syarat dana repartriasi dinvestasikan di dalam negeri. Dana-dana tersebut harus diinvestasikan ke dalam Surat Berharga Republik Indonesia, Obligasi BUMN, Obligasi Pembiayaan Lembaga Pembiayaan Milik Pemerintah, Investasi Keuangan pada Bank Persepsi, Obligasi Perusahaan Swasta yang OJK, Investasi Infrastruktur melalui kerja sama pemeritah dan badan usaha, investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan pemerintah, serta bentuk Investasi lainnya yang sah sesuai UU (pasal 12 ayat 3 UU Pengampunan Pajak). Dilihat dari pola repartriasi ini, jelas pemerintah menyiapkan benteng untuk memperkuat daya saing ekonomi kita di era “perang pasar” nantinya.

Di samping itu, pemerintah juga membuka penerimaan pajak melalui pengakuan harta Wajib Pajak dalam negeri yang belum melaporkan pajaknya secara benar guna memanfaatkan sarana Amnesti Pajak, selain untuk menutupi potensial gap dari target penerimaan juga sebagai “undangan terakhir” sebelum pemerintah mengambil tindakan tegas di era keterbukaan data dan informasi perbankan.

Memasuki era “perang pasar” ini, saya rasa jika kita memang mencintai negeri ini maka menyukseskan Tax Amnesty adalah hal yang harus kita tempuh, mengutip kalimat Tan Malaka “Badai di depan sangat keras, jangan sampai kita kehilangan kepala”.

Muhammad Priyantarno, Praktisi Perpajakan (Pegawai Direktorat Jenderal Pajak)

Comment