Sedap Malam

Foto: Istimewa

Sedap Malam
Oleh Andini Haryani

MEDIAWARTA.COM – Tamu terakhir. Kutengokkan kepala ke kanan. Suami. Kutengokkan kepala ke kiri. Mertua. Kutatap lurus ke depan. Orang-orang menuju pintu keluar, beberapa masih mengantre prasmanan. Lampu sorot tepat ke muka dan sebuah kamera membidik tepat ke mata.

Seorang ibu sibuk memanggil teman-teman SMP, SMA, kuliah, dan rekan kerja lewat pengeras suara. Kutundukkan kepala. Kebaya putih, penuh manik-manik dan bordir. Kuangkat kepala lagi. Orang-orang mengambil bunga dekorasi, padahal sang mempelai belum lagi pergi.

“Senyum semuaaa,” sebuah suara memecah lamunan.

***

Domba terakhir. Sudah sampai hitungan ke-759 dan belum juga bisa memejam. Kutengokkan kepala ke kanan. Suami. Kutengokkan kepala ke kiri. Syukurlah, tidak ada mertua. Kutengokkan lagi kepalaku ke kanan. Suami tertidur pulas. Kuperhatikan wajahnya. Enam bulan bukan waktu yang cukup lama untuk sungguh-sungguh mengenal seseorang. Tapi aku kenal mata itu. Kedua mata yang sedang memejam itu. Dan aku kenal bibir itu. Bibir yang, entah kenapa, sedang tersenyum. Mimpi apa dia? Entah. Banyak yang aku tidak tahu. Paling tidak aku tahu ia mencintaiku. Mungkin.

Tahi lalat terakhir. Setelah domba, aku putuskan untuk menghitung tahi lalat yang ada di sekujur punggung lelaki yang sedang tertidur di sebelah kananku. Tujuh, dan aku belum juga bisa terpejam. Kutengokkan kepala ke kiri. Sebuah jam meja dengan ornamen bunga-bunga. Sangat feminin. Pukul 02.30. Kenapa aku tidak bisa tidur? Padahal, tadi kami bercinta dengan gila-gilaan. Ups, salah. Suamiku bercinta dengan gila-gilaan. Istrinya? Bohong-bohongan. Sedikit.

“Uughh….”

Selusin.

“Hmmmpphh….”

Beberapa cakaran di punggung, dan tentunya diakhiri teriakan pamungkas, “AAAAAGGHHH….”

Dengan efek fading away. Menghindari efek echo, supaya kelihatan alami dan tidak terlalu dibuat-buat.

Tadi aku kelelahan. Seharian memakai hak tinggi, korset yang menyesakkan, kain yang membebat, rambut penuh hair spray (selalu membuatku sakit kepala) dan senyum manis (entah memang milikku atau tempelan dari sang make-up artis), sangatlah melelahkan. Entah kenapa kini aku tidak bisa terlelap. Menghitung apa lagi, ya? Tidak mungkin aku menghitung uang dari peti amplop sekarang, saat suami masih tertidur. Tidak sopan. Lagi pula, kurang kerjaan!

Kurang kerjaan. Kerja. Suamiku memintaku berhenti bekerja. Tapi bukan sekarang.

“Aku pingin kamu di rumah saja, mengurus anak kita,” ujarnya di awal mula perencanaan pernikahan kami.

Itu terjadi kurang lebih satu setengah bulan yang lalu. Asumsiku: mengurus anak sama dengan ada anak, sama dengan nanti. Jadi aku akan tetap bekerja dulu. Aku suka pekerjaanku. Tepatnya, aku suka gajiku. Lagi pula, apa yang akan aku lakukan kalau nanti dia pergi bekerja? Sendirian saja di rumah? Pasti sangat membosankan.

Comment