MEDIAWARTA, MAKASSAR – Saya kembali “bernyanyi” tentang modal sosial. Ada satu modal hidup untuk memperkuat keteguhan, *kepercayaan (Trust)*. Fungsi-fungsi sosial bisa bergulir dari kepercayaan. Orang bisa bersama karena saling percaya. Sebenarnya sebuah kelompok yang bubar juga karena percaya bahwa mereka sudah tidak saling mempercayai. Mari kita melihat bagaimana kepercayaan itu berkelindan dalam diri.
Pernahkah anda sebagai ayah menimang-nimang anaknya waktu masih bayi, sesekali anda melemparnya ke udara? Apa yang terjadi dengan bayi itu? Ketawa cengengesan. Bayi itu ketawa cengengesan karena instingnya bekerja bahwa ayah yang melemparnya akan menangkapnya kembali.
Betul, tidak pernah kita melihat pemandangan seorang ayah melempar bayinya ke atas lalu melepas tangannya dan membiarkannya jatuh ke bawah. Kecuali mungkin kalau ayah itu terganggu kewarasannya.
Ilustrasi di atas adalah penggambaran tentang bagaimana kepercayaan itu bekerja. Orang yang mempercayai seseorang memiliki proses batin yang sangat dalam kepada yang dipercayainya, yang orang Inggeris sering sebut “trustworthy.” Apa yang dilakukan oleh seseorang yang mempercayai orang lain? “Saya menerima apa adanya dirimu.” Begitulah bahasa romantisnya. Masa anda tidak tahu, sejak muda sudah mengucapkannya.
Jadi ketika orang diterima apa adanya dirinya, orang itu sudah sangat dipercaya karena dia sudah menjadi “telanjang” bagi yang mempercayainya. Tidak ada lagi yang tersembunyi yang bisa menghalangi tingkat kepercayaanya.
Bagaimana proses batin kepercayaan itu bisa terjadi? Ujian kepercayaan! Tidak ada kepercayaan yang lahir begitu saja. Kepercayaan tidak lahir dari kata-kata, misalnya kalimat: “percayalah saya, sayang.” Itu bukan kepercayaan tapi rayuan. Kepercayaan juga tidak lahir dari bahasa tubuh, misalnya: kedipan mata, gerakan tangan, atau bungkukan tubuh.
Kepercayaan lahir dari terujinya orang itu pada jalan yang bisa menggelincirkannya menjadi orang khianat. Seorang majikan sengaja menaruh uang 100 ribu di celananya yang akan dicuci, untuk menguji kejujuran asisten rumah tangganya. Itu adalah cara menguji bahwa asisten itu layak dipercaya pada aspek kejujuran, karena di situ ada ruang untuk tergelincir.
Seorang dosen menyuruh asisten barunya untuk datang ke rumahnya di subuh hari, hujan keras, petir mengintai, dan gelap gulita karena mati lampu. Itu caranya dosen untuk memastikan bahwa apakah ada jaminan loyalitas asistennya itu. Jadi dia ingin masuk pada rasa percaya melalui ujian loyalitas. Sekali lagi, di situ ada jebakan untuk menggelincirkan seseorang.
Karenanya, ujian kepercayaan itu menjadi penentu seseorang bisa dipercaya atau tidak. Jadi kalau ada wawancara untuk menguji kepercayaan anda, itu bukan ujian kepercayaan yang sesungguhnya. Itu hanya mencari potensi untuk mengetahui apakah si calon ada peluang untuk dipercaya. Hasilnya bisa “fifty-fifty”, 30 untuk mempercayai hasilnya, 70 untuk tingkat kesalahannya. Saya berhenti sampai di sini, khawatir anda mulai kurang percaya dengan kata-kata saya.
Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin
Comment