MEDIAWARTA, MAKASSAR – Untuk kesekian kalinya saya mencoret tangkapan saya dari pidato Menteri Agama (Gus Men) dalam beberapa event yang bernuansa akademik. Kali ini saya masih terus terkesima dengan gagasan yang dipilah dan diksi yang dipilih Gus Men, yang disampaikannnya pada penutupan Konferensi tahunan, Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) di Semarang, tanggal 1 sd 4 Pebruari 2024. Konferensi ini mengambil tema, mendefiniskan ulang peran agama dalam menangani krisis kemanusiaan.
Pandangan saya, pidato Gus Men provokatif tapi solutif. Saya menyebutnya provokatif karena Gus Men secara jelas membongkar masalah aktual yang terkait dengan tema konferensi. Saya menyebutnya juga sebagai solutif karena menyajikan proposal pemecahan masalah kemanusiaan yang dihadapi.
Gus Men memulai dengan menyajikan data bagaimana pembinasaan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya secara masif dari masa ke masa. Gus Men berhipotesa bahwa sejarah manusia ditandai dengan “rapuhnya nilai kemanusian.” Lebih tegas Gus Men menguatkan tesisnya “brutalitas adalah sesuatu yang inherent dalam prilaku sosial politik manusia.” Menurutnya, kemanusiaan memang dihiasi dengan kebencian dan pemusnahan. Gus Men menunjuk contoh kasus korban jiwa manusia akibat Perang Dunia Kedua dan genosida di Rwanda.
Namun Gus Men juga menggarisbawahi bahwa sejarah manusia menunjukkan bahwa mereka bisa melewati dan mengatasi kebencian yang dibangunnya sendiri. Manusia memiliki kapasitas untuk membangun kebersamaan dari nilai-nilai kemanusiaan yang ditegakkan, termasuk membangun kembali puing-puing kehancuran akibat dari kebencian. Menurutnya, manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki piranti paling lengkap untuk mewujudkan rasa cinta.
Dari situlah Gus Men mendorong keberagamaan yang dianut oleh manusia sebagai alat paling ampuh untuk mewujudkan perdamaian global dari rasa cinta terhadap sesama. Keberagamaan sangat bisa menjadi titik temu untuk melewati sejarah kelam kemanusiaan dan membangun peradaban baru; budaya damai, berkeadilan, dan menghargai hak-hak dasar manusia.
Sejarah selalu berulang. Brutalitas manusia berulang hari ini. Bahkan agama-pun sering menjadi alat yang dipakai untuk melegitimasi aksi brutal. namun Gus Men optimis bahwa jiwa keadaban manusia melalui ajaran “cinta” bisa menjadi pendorong utama melewati krisis kemanusian.
Itulah, Gus Men menyodorkan sebuah konsep yang disebutnya sebagai “the culture of tolerance”. Gus Men menunjuk Indonesia sebagai contoh negara yang menjalani sejarah panjang, yang berjuang membangun budaya toleransi, dan bagaimana Indonesia juga menghadapi ragam tantangan dalam membangun budaya itu.
Dari pengalaman Indonesia, Gus Men juga meyakinkan peserta konferensi bahwa sikap intoleransi hanya akan semakin memperdalam kesenjangan hidup. Nilai-nilai demokrasi tidak mungkin tumbuh dari mereka yang memiliki sikap intoleransi.
Gus Men lalu menyodorkan gagasan tajam bahwa kemajemukan hidup adalah keniscayaan. Sambil mengutip dalil dari beberapa kitab suci agama dan slogan tokoh dunia, Gus Men menegaskan bahwa tidak ada sejarah yang tidak ditandai oleh kemajemukan, baik secara natural maupun kultural. Menolak kemajemukan sama dengan menolak realitas kehidupan.
Gus Men menutup pidatonya dengan mengajukan sejumlah “proposal”. Salah satu yang terpenting yaitu meskipun beragama adalah hak individu atau pribadi, namun yang terpenting bagaimana hak pribadi itu berdampak pada lahirnya tatanan kemanusiaan. Gus Men ingin mengatakan bahwa jangan hanya menjadikan agama ideal dalam ajarannya, tetapi harus berdampak pada prilaku para pengikutnya. Gus Men mengakhiri dengan mengajak peserta konferensi untuk membangun “laboratoriun toleransi” yang bisa menjadi tempat penelitian bagi pengkaji dan pemerhati perdamaian global.
Dari tawaran Gus Men ini, saya tertarik dengan istilah “planetarium toleransi”. Kebetulan UIN Walisongo memiliki fasilitas platenatarium terbaik di antara perguruan tinggi di Indonesia. Siapa tahu pada planetarium toleransi itu kita bisa belajar dari pergerakan benda-benda di langit dan di bumi yang tidak pernah saling bertabrakan dan juga sekaligus mengajarkan arti “ketiadaan” manusia. Bukankah intoleransi itu selalu dibangun oleh egoisme dan sikap superior? Saya berhenti sampai di sini karena sudah mulai “ngarang”.
Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin
Comment