Kepala Biro Akademik, Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Alauddin Makassar: Surat Edaran untuk Menjaga Marwah Kampus

MEDIAWARTA, MAKASSAR – Pada kesempatan ini saya Dr. H. Kaswad Sartono selaku Kepala Biro Akademik, Kemahasiswaan dan Kerjasama, saya perlu menjelaskan kembali hal yang terkait dengan surat edaran Rektor UIN Alauddin Nomor 2591 Tahun 2024 tentang pengaturan penyampaian aspirasi mahasiswa.

Menjelaskan kembali surat edaran ini kami lakukan karena munculnya protes berupa unjuk rasa dan komentar di media sosial yang isinya menunjukkan perlunya kami menerangkan ulang untuk mencegah kesalahpahaman dan simplifikasi dalam pengambilan kesimpulan.

Pertama, surat edaran ini dibuat bukan seketika, berdasar diskusi edukatif dan panjang bidang kemahasiswaan dan diputuskan pada rapat pimpinan universitas dari situasi kampus kami selama ini. Jadi yang mengomentari surat edaran ini tetapi tidak memahami denyut realitas kampus kami, apalagi kalau menerima informasi secara sepihak, tentu komentarnya berpotensi untuk menyesatkan. Keluarnya surat edaran ini berdasar dari rentetan unjuk rasa mahasiswa yang sering tidak terkendali, meresahkan masyarakat, membakar ban, dan merusak fasilitas umum.

Kedua, nafas surat edaran ini semata-mata untuk penertiban dan ketertiban kehidupan berkampus anak-anak mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi atau dalam berekspresi melalui dialog dan memperkuat komunikasi dengan pimpinan dan pengurus lembaga kemahasiswaan. Bukan melarang mereka untuk menyampaikan pendapat atau aspirasi. Faktanya, ketika terjadi demonstrasi besar beberapa waktu yang lalu, para mahasiswa dari prodi tertentu yang mengirimkan surat ke pimpinan fakultas untuk ikut berdemonstrasi, lalu dipanggil untuk diajak berdialog dengan persuasif, tapi mereka tetap mau keluar kampus. Lalu pimpinan mempersilahkan dengan syarat menjaga ketertiban. Dan hasilnya, setelah demonstrasi, mereka kembali ke kampus secara tertib pada sore hari. Artinya, ada mahasiswa yang bisa melakukan seperti ini, dan mengapa budaya tertib berunjuk rasa seperti ini tidak dibudayakan.

Ketiga, anak-anak mahasiswa melalui surat edaran ini perlu diajak untuk sama-sama bersinergi menegakkan etika kehidupan berkampus yang sering disebut sebagai kode etik. Contohnya, segera setelah surat edaran dikeluarkan, pihak pimpinan mengajak para pengurus lembaga untuk berdialog, tetapi tidak ada satupun yang hadir. Contoh lain yang menunjukkan sebuah paradoks untuk mewujudkan etika sosial berkampus, yang diatur adalah melarang demo yang mengganggu ketertiban umum dan membakar ban, tetapi justeru mereka melakukannya saat memprotes substansi yang diatur.

Saat kode etik universitas melarang mencoret-coret kampus, menyebar tulisan dan spanduk yang mencoreng lembaga dan menyerang secara personal pimpinan kampus, justeru mereka memperagakan prilaku itu secara terbuka. Bahkan ditemukan upaya sistimatis yang secara jelas berupaya untuk merusak citra kampus dengan selebaran pada saat penerimaan mahasiswa baru, tetapi terantisipasi oleh panitia.

Keempat, surat edaran ini tentang perlunya mahasiswa meminta izin kepada pimpinan adalah inisiasi internal pimpinan kampus karena dengan cara itulah proses penertiban bisa berjalan. Pihak universitas meyakini langkah tepat ini dari pemahamam mendalam tentang kondisi yang berjalan selama ini. Pihak universitas berkomitmen mewujudkan praktek berkegiatan yang terkontrol. Pihak universitas sudah begitu repot menerima keluhan masyarakat tentang demonstrasi yang meresahkan masyarakat.

Adapun masalah DO, perlu kami jelaskan bahwa setiap tahunnya, ada ratusan, bahkan pernah ribuan mahasiwa di-DO karena berbagai faktor yaitu IPK tidak mencapai 2.0, tidak aktif selama dua semester, melewati masa studi, tidak membayar UKT dan karena pelanggaran kode etik atau tata tertib Akademik dan kemahasiswaan.

Ada dua mahasiawa yang di-DO sempat diributkan karena katanya faktor ikut demonstrasi. Padahal keduanya terbukti minum-minuman keras di dalam kampus. Bahkan salah satu yang di-DO itu, tertangkap lagi oleh polisi saat demo besar karena terlibat demonstrasi anarkis. Mengapa ratusan di-DO ini tidak diributkan? Karena yang ratusan ini tereliminasi sendiri oleh sistem dan mereka menerima sebagai konsekuensi tidak ikuti aturan. Sementara yang sedikit ini merasa tidak bersalah, merasa kebebasan berpendapatnya terhalangi, merasa terbungkam, melihat kampus anti-demokrasi. Mengapa yang hanya diskorsing protes atas pelanggaran yang dibuatnya, bisa saja karena budaya lama berunjuk rasa terganggu. Mereka tidak mau menerima konsekuensi seperti ratusan lainnya itu.

Kita ingin mengajak anak-anak ini untuk memasuki era baru perjuangan. Sudah bukan saatnya lagi sedikit-sedikit menutup jalan, merusak fasilitas, meresahkan dan mengganggu aktifitas masyarakat saat berdomonstrasi. Saatnya sekarang demo ide dan pikiran konstruktif yang bermanfaat bagi penguatan kebangsaan.

Kelima, ada yang berpendapat bahwa surat edaran ini memakan korban. Kami jelaskan bahwa surat edaran ini dihadirkan bukan untuk menjerat perbuatan pelanggaran sebelumnya karena surat edaran ini semangatnya adalah penertiban dan pengaturan dalam menyampaikan pendapat yang diberlakukan khusus untuk mahasiswa UIN Alauddin. Namun tampaknya yang dimaksud memakan korban, adalah skorsing anak-anak mahasiswa yang protes dengan surat edaran ini dengan cara melanggar apa yang diatur oleh surat edaran. Itu bukan korban, tetapi penerima konsekuensi dari tidak adanya respek terhadap surat edaran. Jadi harus dibedakan antara korban dengan konsekuensi.

Comment