Guru Yang Tak Pernah Menggurui

MEDIAWARTA,-“Mengeritik, menyoroti, mengoreksi, ataupun mencandai sesuatu yang menjadi profesi sendiri tidak sepatutnya membawa luka bagi yang lain karena itu sudah pasti berasal dari penghayatan yang sangat dalam.” Kalimat di atas bukan kutipan dari seorang tokoh. Saya yang mengarangnya sendiri, entah salah atau sangat salah.

Saya jadikan sebagai pembuka ulasan dalam merespon adanya perbincangan ramai di media sosial saat ini dari pernyataan Bapak Menteri Agama, Prof. KH. Nasaruddin Umar, tentang guru sebagai profesi suci, bukan sekadar profesi untuk mencari uang atau menjadi kaya.

Hakekatnya, sebuah pernyataan tajam belum tentu bisa disebut sebagai kritikan karena yang disampaikan sebatas pandangan antisipatif, tidak diperuntukkan untuk menyindir perilaku orang atau menunjuk kasus tertentu.

 

Pun, kritikan itu sepanjang membangun, maka itu sebuah keniscayaan yang harus diterima untuk perubahan. Sebuah pernyataan bisa juga berwujud refleksi karena menjadi cerminan diri terhadap masalah yang dihadapi bersama.

Reflection From Within

Dalam kaitan dengan pernyataan itu, saya lebih tertarik menyebutnya sebagai refleksi. Karena refleksi, Bapak Menteri sedang bercermin. Beliau bercermin pada dirinya yang berasal dari “within.” Ia ada di dalamnya. Ia memahaminya, menyelaminya, dan menggelutinya. Beliau pastinya menjadi bagian tak terpisahkan dari profesi itu. Pernyataan itu bukan berasal dari “without,” bukan karena kealfaan, atau sebagai pengamat karena tidak merasa menjadi bagian, yang berjarak dari profesi yang ditekuninya.

Begitulah saya memaknai saat Bapak Menteri menyampaikan ulasan tentang ikhtiar meraih kemuliaan seorang guru. Dia memaparkan idealitas sosok guru yang akan dituju, guru yang bukan sekadar “fokus” tapi “tulus”. Saat berbicara di depan guru, Bapak Menteri tidak sedang membaca “teks” tetapi menyampaikan “konteks”, bagaimana dirinya sebagai bagian dari guru-guru yang ada di hadapannya secara bersama membentangkan jalan untuk mencapai “maqam” kemuliaan itu.

Bapak Menteri begitu fasih berbicara tentang kemuliaan menjadi guru, karena dirinya melakoni seluruh fase hidupnya yang berada pada satu tarikan nafas dengan profesi guru. Saat baru memulai aktifitasnya, Ia sudah langsung menjadi guru. Pada subuh hari, saat membuka zoom untuk memberikan pengajian, beliau sudah otomatis menjadi guru. Saat menuju ke kampus sebagai dosen, sudah pasti ia bekerja sebagai guru tentunya, karena ia adalah maha guru atau guru besar.

Sebagai Kyai, Menteri Agama sejatinya juga menjadi seorang guru, tidak mungkin seseorang menjadi Kyai tanpa memililki santri yang selalu diajar. Sebagai Imam Besar, dirinya juga menjadi guru karena mengurus umat dan menjadi representasi tokoh agama bangsa, menawarkan pelajaran yang selalu dicerna oleh para murid yang sering disebut sebagai jamaah.

Guru yang Tak Pernah Lelah

Saya sendiri tidak begitu banyak melihat orang yang bisa melakoni keguruan se-apik dirinya sebagai guru. Beliau bukan hanya menjiwai dengan penyatuan diri dan pikirannya pada profesi guru, tetapi dia meragai profesi itu tanpa pernah memperlihatkan rasa lelah.

Dalam satu hari, dia bisa berpindah dari satu “sekolah” ke “sekolah” lainnya untuk mengajar, sampai larut malam. Bukan kelelahan yang menghentikannya, tetapi aturan hidup yang memaksanya untuk menutup mata sejenak, sebelum ia melanjutkan pengabdian berikutnya saat hari masih gelap.

Saat dirinya diundang berdiri “mengajar”, dia selalu mengusahakannya tanpa pernah berhitung level lembaga pendidikan orang-orang yang berada di hadapannya. Ketika menyampaikan pikiran-pikiran tentang pendidikan, gagasannya berselancar jauh dan meluncur tanpa henti.

Karena dia sedang berbicara tentang sesuatu yang bukan hanya berdenyut tapi mengalir deras dalam nadi kehidupannya, tentang apa yang seharusnya dia tampilkan sebagai guru.

Bukan Sekadar Pemaaf, tapi Pemohon Maaf

Saat Menteri Agama meluncurkan gagasan “Kurikulum Cinta”, fondasinya berasal dari kesejatian dirinya sebagai guru. Karena dia guru sejati, dia memahami bahwa perubahan dalam dunia pendidikan harus dimulai dari kurikulum. Karena dia guru sejati, dia sadar bahwa cinta adalah “doktrin” terbaik untuk merawat keharmonisan bangsa. Bukankah aspek itu yang mendesak untuk menjadi sumbangan terpenting dunia pendidikan hari ini?

Karena beliau guru sejati, ia mafhum bahwa cinta adalah “senjata” terbaik untuk memerangi segala potensi ketidakstabilan bangsa karena merebaknya egoisme, keakuan atau kesombongan yang berakibat pada peminggiran nilai-nilai kemanusiaan.

Itulah, saat dia meminta maaf pada khalayak guru atas pernyataannya, saya menilai secara bersamaan dia juga meminta maaf pada dirinya. Karena siapa di antara guru yang lebih guru dari dirinya. Tanpa membuang waktu, dia memilih meminta maaf, padahal dia bisa menjelaskan panjang lebar apa sesungguhnya yang dia maksud ketika menyampaikan pernyataan yang terpotong itu di media sosial. Beliau tidak mau melakukannya, karena sebagai guru sejati, mungkin hanya satu yang dia hindari seperti yang bisa dinilai selama ini, dia tidak mau menjadi “guru yang suka menggurui.”

Comment