Perjuangan Vivi Anna Melawan Budaya yang Membungkam Perempuan

Psikolog klinis, Vivi Anna Maria.

MEDIAWARTA, MAKASSAR — Di sebuah sudut rumah makan di tengah hiruk-pikuk Kota Makassar, seorang perempuan duduk di balik meja kayu yang merekam jejak panjang hidupnya. Namanya Vivi Anna Maria, seorang psikolog klinis yang selama ini menjadi tempat puluhan klien mencurahkan luka batin dan pergulatan hidup mereka.

Namun Kamis (10/7/2025), bukan hari biasa bagi Vivi. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan suaranya keluar bukan demi orang lain, melainkan untuk dirinya sendiri.

Dengan nada pelan namun sarat beban, Vivi berkata, “Saya pikir, sebagai perempuan dan kakak tertua yang ikut membangun usaha bersama ibu, saya punya hak yang lebih Tapi rupanya, saya keliru.”

Di balik kesuksesan Hermin Salon, salah satu pusat kecantikan ternama di Makassar, tersimpan kisah yang tak pernah ditampilkan di etalase depan: kisah tentang perjuangan seorang anak perempuan yang bekerja dari nol bersama ibunya, namun dilupakan ketika segalanya berubah. Setelah sang ibu wafat, pembagian warisan memunculkan konflik: sang adik, JH, dianggap sebagai pewaris utama hanya karena ia laki-laki.

“Saya yang dampingi mami sejak awal, tapi di akhir cerita, saya seperti tak pernah ada,” tutur Vivi.

Budaya yang Menghapus Peran Perempuan

Dalam struktur keluarga Tionghoa yang mengakar kuat pada sistem patrilineal dan patrilokal, laki-laki dianggap sebagai pemegang tongkat estafet keluarga.

Mereka bukan hanya penerus nama, tetapi juga segala hal: dari rumah hingga keputusan akhir.

Sementara perempuan, sering kali ditempatkan di posisi pinggir, sebagai pendukung yang jarang diakui kontribusinya.

Penelitian dalam jurnal Edulnovasi (2025) menyebut bahwa anak laki-laki dalam budaya Tionghoa sering diasosiasikan dengan kekuatan, status, dan kemakmuran. Sebaliknya, anak perempuan lebih dipandang sebagai pendamping yang harus siap mengalah.

Vivi mengalami langsung bagaimana konstruksi itu menyakiti. Ia yang mencarikan pembeli tanah warisan, justru tak diikutsertakan dalam proses pembagian.

Permintaan untuk menanda tangani penjualan tanah warisan guna dana operasi katarak pun ditolak, kecuali jika ia bersedia memutus hubungan dengan sang adik.

“Bukan cuma ditolak transaksinya, saya tidak dihargai sebagai bagian dari keluarga,” katanya lirih.

Konflik yang Meninggalkan Luka Lebih Dalam

Konflik tak berhenti pada urusan warisan. Vivi juga menyebut adanya dugaan pesan negatif yang disebarkan oleh istri sang adik kepada staf salon Hermin melalui pesan WhatsApp. Hal ini memperparah situasi dan membuatnya merasa tidak dihargai.

Sebagai psikolog, Vivi memahami betul bahwa luka semacam ini bukan hanya bersifat pribadi. Ia adalah bentuk trauma struktural yang berakar dari budaya, dan jika tak dipulihkan, bisa menjadi warisan tak kasatmata bagi generasi berikutnya.

“Ketika anak laki-laki terlalu dimanja tanpa diajarkan empati, mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang egois. Dalam beberapa kasus, bahkan berkembang menjadi Narcistic Personality Disorder,” jelas Vivi.

Baginya, cerita ini harus disuarakan. Bukan untuk membalas, tetapi untuk mencegah luka serupa berpindah ke generasi yang baru. Karena perempuan bukanlah bayang-bayang. Mereka adalah bagian dari narasi yang seharusnya ditulis dengan tinta yang setara.

Comment