MEDIAWARTA.COM – Sebelum novelnya yang berjudul Supernova terbit, tidak banyak orang yang tahu kalau wanita bernama lengkap Dewi Lestari Simangungsong ini sudah sering menulis. Tulisan Dee, demikian panggilan akrabnya, pernah dimuat di beberapa media. Salah satu cerpennya berjudul Sikat Gigi pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter, sebuah media berbasis budaya yang independen dan berskala kecil untuk kalangan sendiri.
Di 1993, mantan personel trio Rida Sita Dewi tersebut mengirim tulisan berjudul Ekspresi ke majalah Gadis yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis. Ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul Rico The Coro yang dimuat di majalah Mode. Bahkan, ketika masih menjadi siswa SMA 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan untuk buletin sekolah.
Ditemui beberapa waktu lalu di sela acara bedah buku Makassar Writers Festival di Benteng Rotterdam, Makassar, ia mengungkapkan ihwal dunia kepenulisannya tersebut. Diungkapkan, dunia kepenulisan yang digelutinya dengan menulis dan “menjual” buku, banyak terinspirasi dari manajemen Tionghoa.
“Novel pertama saya yang cukup sensasional, Supernova Satu: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh, saya rilis pada 16 Februari 2001. Novel ini laku 12 ribu eksemplar dalam tempo 35 hari, dan terjual sampai 75 ribu eksemplar. Dalam novel itu, saya banyak menggunakan istilah sains dan cerita cinta,” ungkap penulis bershio Naga ini.
Ditambahkan, pada Maret 2002, ia meluncurkan Supernova Satu edisi Inggris untuk menembus pasar internasional. “Waktu itu, saya menggaet Harry Aveling, ahlinya dalam urusan menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris,” beber penulis kelahiran Bandung, 20 Januari 1976.
Dalam Supernova, sebut Dewi, ia banyak memasukkan filosofi Tionghoa selain unsur Buddhisme. Pengalaman batinnya tentang kedua hal itu menjadi inspirasi dan inti dari tulisan-tulisannya yang menarik minat pembaca, serta membawa nuansa baru dalam khazanah kesusastraan di Indonesia.
Dijelaskan, Supernova pernah masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books. Bersaing bersama sastrawan kenamaan seperti Goenawan Muhammad, Danarto lewat karya Setangkai Melati di Sayap Jibril, Dorothea Rosa Herliany karya Kill The Radio, Sutardji Calzoum Bachri karya Hujan Menulis Ayam, dan Hamsad Rangkuti karya Sampah Bulan Desember.
Sukses dengan novel pertamanya, istri Reza Gunawan ini meluncurkan novel keduanya, Supernova Dua berjudul Akar pada 16 Oktober 2002. Lama tak terdengar, akhirnya Januari 2005 Dee merilis novel ketiganya, Supernova episode Petir. Kisah di novel ini masih terkait dengan dua novel sebelumnya. Ia hanya memasukkan empat tokoh baru dalam Petir. Salah satunya Elektra, tokoh sentral yang ada di novel tersebut.
Pada medio Juni 2007, ibu dari Keenan Avalokita Kirana dan Atisha Prajna Tiara menerbitkan antologi cerpennya yang berjudul Filosofi Kopi yang tak kalah suksesnya dengan novel-novel sebelumnya. Setelah itu, tak terhitung karya Dewi yang fenomenal. Sebut saja Perahu Kertas dan antologi cerpennya, Rectoverso yang masing-masing sudah diangkat ke layar lebar.
Effendy Wongso/Foto: Effendy Wongso
Comment