MEDIAWARTA.COM – Gairah seksual atau sexual drive bisa dialami semua orang. Akan tetapi, masing-masing personal memiliki cara penyaluran gairah yang berbeda-beda. Awas, kalau tidak dikontrol bisa menjadi gangguan, seperti dikemukanan dr Abie Noya dari Klinik Yayasan Angsamerah, Jakarta.
Menurut Abie, seperti dikutip dari femina.co.id, Kamis (14/7/2016), gairah seksual diartikan sebagai keinginan, dorongan, atau hasrat seseorang untuk beraktivitas seksual. Sekadar diketahui, dorongan ini ternyata sudah ada sejak seseorang masih kecil.
“Dari teori Sigmund Freud, ada beberapa fase yang menunjukkan manusia itu makhluk seksual. Awalnya, di umur balita ada fase oral. Mereka mulai senang memasuk-masukkan jari ke mulut dan mendapatkan kenikmatan dari aktivitas itu. Kedua, ada fase anal ketika mulai usia sekolah. Misalnya, ketika mereka mulai bisa merasakan kelegaan atau rasa plong saat buang air besar atau setelah menahan kencing. Mereka merasakan sebagai kenikmatan yang juga merupakan fase seksual,” paparnya.
Abie menambahkan, gairah seksual bisa terlihat pada masa remaja atau pubertas, sekitar usia 13-14 tahun. “Di sini, mereka mulai menyadari adanya ketertarikan seksual karena adanya lonjakan hormon yang menyebabkan sexual drive dan gender identity terbentuk. Selain terjadi pertumbuhan fisik, remaja juga mengalami rasa maupun emosi baru yang cenderung kompleks, termasuk ketertarikan terhadap lawan jenis. Semakin dewasa tentunya lebih terarah lagi,” ulasnya.
Gairah seksual pada wanita maupun pria tidak berbeda. Pasalnya, di masa pubertas hingga dewasa, seseorang sama-sama berkembang dan terus memproduksi hormon. “Yang membedakan adalah kita sering terjebak dalam stereotipikal, kurang baik bagi wanita mengungkapkan hasrat seksualnya. Itu dianggap tidak sesuai norma, apalagi kita menganut adat ketimuran,” bebernya.
Di sisi lain, Abie mengungkap, pria bisa lebih vokal mengekspresikan hasratnya. Alhasil, muncul anggapan gairah seksual pria cenderung lebih tinggi dibandingkan wanita. “Padahal, wanita dan pria sama-sama memiliki hormon seksual. Pada pria, ada testosteron dan wanita punya estrogen. Berhubung ada nilai-nilai dalam masyarakat, wanita akhirnya menginhibisi gairah. Ada yang mengalihkannya dengan kesibukan lain, misalnya dengan cara berdandan, belanja, atau olahraga,” paparnya.
Ia menjelaskan, peningkatan aktivitas seksual yang dimulai dari otak menstimulus tubuh bereaksi. “Otak menerima sensor ataupun rangsangan-rangsangan yang didapatkan panca indera. Bisa dari kita melihat sosok atau gambaran yang seksi, sentuhan, suara-suara yang dianggap menggairahkan, aroma, maupun emosi-emosi. Itu semua membuat otak jadi lebih aktif, sehingga ada beberapa kelenjar yang melepaskan hormon-hormon seksual,” imbuh Abie.
Comment