MEDIAWARTA.COM, TIONGKOK – Ada beberapa sumber yang mengulas tentang asal mula budaya bebat kaki (food binding) di Tiongkok kuno.
Kisah pertama adalah tentang seorang selir dari Pangeran Yao Niang yang berjalan dengan anggunnya dengan kaki diikat, sehingga kaki diikat mejadi tren pada masa itu.
Kisah kedua mengatakan, selir Yao Niang ini diperintahkan untuk mengikat kakinya supaya kaki terlihat seperti bulan. Kisah ketiga menyatakan, mengikat kaki merupakan wujud simpati kepada kaisar wanita. Versi lain menyatakan, tradisi mengikat kaki berasal dari kaki para penari, namun sepertinya hal ini tidak masuk akal mengingat wanita dengan kaki terikat sangat sulit untuk berjalan apalagi menari.
Dari manapun asal tradisi ini, efek yang ditimbulkan sangatlah nyata. Bebat kaki membuat istri dan selir orang-orang kaya tidak dapat melarikan diri dari tindak pemukulan. Ajaran Konfusius pada saat itu menitikberatkan kekuasaan pria di atas wanita sebagai dasar dari urutan kehidupan sosial.
Bebat kaki dimulai dari kalangan atas atau golongan terpandang. Hal ini membuat wanita menjadi orang yang tergantung dan tidak berguna di luar rumah, menyulitkan bagi orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan untuk mengolah sawah atau perkebunan. Bebat kaki kemudian menjadi syarat pernikahan, pasalnya pada masa itu pria tidak akan menikahi wanita yang kakinya tidak diikat.
Sehingga, anak perempuan haruslah diikat kakinya supaya dapat dinikahi, terutama dengan pria kalangan menengah atas. Seorang ibu harus mengikat kaki anak perempuannya, sebab kalau tidak maka anak perempuannya hampir pasti tidak akan menikah. Bebat kaki bahkan menjadi lambang kesucian. Sekali diikat (dikunci), maka tidak akan bisa dibuka seperti sabuk kesucian.
Pada 1895, gerakan dan perkumpulan anti bebat kaki mulai terbentuk di Shanghai, yang kemudian menjalar ke kota-kota lain, bahkan di luar negeri. Alasan utama menentang tradisi bebat kaki adalah penderitaan yang dirasakan wanita seumur hidupnya.
Mereka mulai membuat daftar orang-orang yang tidak akan mengikat kaki anak-anak perempuan mereka, dan tidak akan menikahkan anak-anak laki-laki mereka dengan wanita yang dibebat kakinya.
Sehingga, orang tua tidak perlu khawatir putri mereka tidak bakal menikah. Akhirnya, pada 1911, melalui Revolusi Sun Yat Sen, tradisi bebat kaki benar-benar dilarang.
Effendy Wongso/Foto: Istimewa
Comment