Oleh : Muhammad Rizal Rustam*
Pengurus Bidang Kajian dan Bantuan Hukum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Se-Jabodetabek
Seorang pemimpin adalah contoh dan teladan bagi rakyatnya. Kepemimpinan sejati adalah yang memberikan sebesar-besarnya kemakmuran dan keadilan untuk kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, di tangan pemimpinlah rakyat menggantungkan harapan dan kebaikan negeri.
Mencermati krisis kepemimpinan di negeri ini dan menurunnya penghormatan terhadap nilai-nilai budaya, ada baiknya jika kita membaca kisah La Mannussak To Akkarangeng, Datu Soppeng IX, seorang pemimpin teladan dari tanah Bugis yang saya sadur dari buku Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan karya Ayahanda Prof. Mr. Dr. (Alm) Andi Zainal Abidin, salah seorang Guru Besar kami di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Menurut Lontarak Pappaseng Andi’ Ninnong, Ranreng Tuwa Wajo’ (Andi Zainal Abidin, 1999: 179-197), Setelah meninggalnya La Pasampoi, Datu Soppeng VIII, keenam puluh Matoa Soppeng Riaja dan Soppeng Rilauk memilih La Manussak To Akkarangeng sebagai Datu menggantikan ayahnya.
Suatu ketika, di masa pemerintahan La Mannussak To Akkarangeng, Datu Soppeng IX, orang-orang Soppeng tidak memperoleh panen padi karena kemarau panjang. Menurut kepercayaan orang terdahulu, jika terjadi bencana atau malapetaka yang menimpa negeri, maka hal itu disebabkan terjadinya kejahatan kesusilaan atau kejahatan yang dilakukan oleh raja dan/atau pejabat kerajaan ataupun salah seorang pemangku adat.
Melihat hal tersebut, La Mannussak To Akkarangeng Datu Soppeng IX memerintahkan beberapa orang kepercayaannya mengadakan penelitian dan penyelidikan terhadap adanya dugaan kejahatan tersebut. Akan tetapi, setelah dilakukan penilitian, para penyelidik tak menemukan adanya kejahatan asusila dan tidak juga menemukan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kerajaan seperti korupsi atau memeras rakyat.
La Mannussak To Akkarangeng menarik kesimpulan, bahwa pastilah ia yang melakukan pelanggaran adat. Ia pun bersemedi sambil mencoba mengingat perbuatan tercela apa yang dilakukannya. Tiba-tiba ia teringat, bahwa suatu hari saat berkeliling untuk melihat keadaan rakyatnya, ia menemukan bungkusan berisi barang-barang berharga tetapi tidak pernah mengumumkannya kepada rakyat. Dengan kebesaran hati seorang pemimpin, keesokan harinya ia mengumumkan bahwa ada seorang pejabat yang akan diadili di balairung dan yang bertindak sebagai hakim adalah Datu Soppeng sendiri. Maka diperintahkannyalah agar seluruh rakyat yang tinggal di pusat kerajaan untuk menghadiri sidang tersebut.
Keesokan harinya La Mannussak To Akkarangeng, Datu Soppeng membuka sidang pengadilan adat dan menyatakan bahwa Datu Soppeng hari ini akan mengadili oknum yang bernama La Mannussak To Akkarangeng karena didakwa telah melakukan kejahatan. Adapun saksi perkara ini adalah La Mannussak To Akkarangeng sendiri serta para pengikutnya yang menemani saat menemukan barang tersebut. Rakyat beserta semua pemangku adat menjadi heran, karena belum pernah sekalipun seorang raja yang mengadili dirinya sendiri. Setelah dilakukan persidangan, La Mannussak To Akkarangeng mengaku bersalah dan Datu Soppeng menjatuhkan hukuman membayar denda berupa seekor kerbau yang akan dipotong lalu dagingnya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Selain itu, La Mannussak To Akkarangeng diberikan hukuman tambahan berupa kewajiban untuk meminta maaf kepada rakyat dan mengumumkan perihal benda yang dipungutnya. Jika ada orang yang mengaku pemilik benda tersebut maka akan diberikan kepadanya, sedangkan jika tidak ada yang mengenali benda tersebut maka akan dijual dan hasilnya dibagikan kepada orang-orang miskin.
La Mannussak To Akkarangeng, Datu Soppeng IX adalah kisah keagungan pemimpin yang mengayomi negerinya. Tak akan mengambil sesuatu yang bukan haknya dan menjadi contoh kebaikan serta keadilan bagi rakyatnya. La Mannussak To Akkarangeng telah menunjukkan kepemimpinan yang menyesuaikan kata dan perbuatan sebagaimana ungkapan Bugis adaemi natotau, molaitta gauk, rupaetta janci yang berarti kita barulah manusia jikalau kata-kata sesuai dengan perbuatan dan menepati janji.
Demikianlah kisah pemimpin teladan dari tanah Bugis. Maka dengarlah sebuah pappaseng atau petuah dari La Mannussak To Akkarangeng, Datu Soppeng IX kepada anak cucunya serta para pejabat kerajaan.
“Bilamana ada seorang raja yang dungu dan bodoh dan tidak menegakkan kebenaran, penakut, tidak menyayangi rakyatnya, serta tidak mempunyai alat perang, tidak menyayangi orang-orang berani, dan kikir terhadap sesamanya manusia, tidak memaafkan atau mengampuni orang yang bersalah yang mengaku bersalah dan bertobat, serta tidak henti-hentinya melakukan perbuatan sewenang-wenang terhadap penduduknya, maka ialah raja yang memerintah yang makin lama makin mengecil negerinya.
Bilamana seorang raja yang memerintah bersedia untuk selalu menerima peringatan dan nasehat dari orang-orang yang memperingatinya dan tidak marah diperingati, maka ialah raja yang akan meningkatkan kebesarannya dan panjang umur.
Jika para hakim tidak jujur, bodoh dan tidak getang atau tegas, tidak mengetahui hukum adat dan tidak mengetahui adat istiadat dan etika, maka hal itulah yang memendekkan umur raja, yang membiakkan kejahatan di dalam negeri, dan negeri selalu ditimpa kesukaran, orang-orang banyak yang saling bertengkar, maka tidak ada lagi orang yang mematuhi hukum adat dan tidak ada lagi orang yang dapat dikenakan sanksi hukum adat, jika tutur atau keterangan seseorang direbahkan atau dikalahkan di sidang pengadilan, maka ia mencari-cari lagi alasan lain. Dalam keadaan demikian maka orang banayak menjadi orang-orang yang berwatak keras dan kepala batu, orang-orang pandai dan jujur akan menyembunyikan kepintaran dan kejujurannya, hanya orang-orang bodoh yang menyatakan diri mereka pandai, demikian pula halnya orang-orang yang curang. Disembunyikanlah keberanian orang-orang berani, dan hanya orang-orang penakut dan pengecut yang menyatakan dirinya berani. Orang-orang yang berperkara tidak menyelesaikan sengketanya di pengadilan, tetapi bertindak menghakimi sendiri. Hanya orang-orang kuat yang menentukan kemauannya. Para penjenang atau pejabat tidak lagi saling berbicara. Tidak ditegakkan lagi ketetapan orang-orang dahulu, maka akhirnya raja tidak ditakuti, dan para pemangku adat tidak lagi disegani dan dihormati, sebab tidak ada lagi kesepakatan bersama orang banyak. Para hakim hanyalah memutus perkara berdasarkan kecurangan dan ketidakadilan ibarat gelombang air yang tidak menentu arahnya dan raja laksana angin lalu saja”
Semoga kisah La Mannussak To Akkarangeng, Datu Soppeng IX, menjadi referensi yang berharga bagi para pemimpin Sulawesi Selatan dalam menjalankan roda pemerintahan. Tulisan ini diakhiri dengan ungkapan rakyat terhadap rajanya
Puang, sirikkumi kupopuakko! Tuanku, hamba mempertuan engkau, selama engkau menjaga dan menghormati harkat dan martabatku.
Salamakki.
*Penulis adalah praktisi hukum yang menetap di Jakarta
Comment