MEDIAWARTA.COM – Wilayah nonfisikal, dalam praktiknya semua ada pada klenteng, baik dari segi tangible culture yang tampak maupun intangible culture yang tidak tampak, dan memiliki multifungsi dalam kehidupan masyarakat Tionghoa.
Banyaknya klenteng di Indonesia telah menunjukkan eksistensi masyarakat Tionghoa sejak zaman dulu. Tidak dipungkiri, banyak klenteng yang berumur ratusan tahun bahkan menjadi cagar budaya warisan masa lampau yang bisu, belum sepenuhnya disadari maknanya sebagian masyarakat, termasuk warga Tionghoa itu sendiri.
Jika menakar klenteng sebagai benda warisan budaya yang tampak, maka secara substansial hal ini akan melupakan makna klenteng dan budayanya yang tidak tampak. Pasalnya, esensi klenteng yang sebenarnya terdistorsif di balik “kemegahan” fisik klenteng, yang di dalamnya terkandung makna-makna terkait kosmologi maupun falsafah kuno Tionghoa yang mengutamakan keselarasan dengan alam.
Apalagi, pengaturan kosmologi dalam kepercayaan Tionghoa erat kaitannya terhadap dua sisi terhadap “wajah” klenteng, yang memiliki dua budaya prinsipil yaitu yang tampak dan tidak tampak tadi. Ini berarti klenteng mengandung makna filosofi dan kepercayaan temurun terhadap kebijakan lokal seperti seni ukir, lukis, dan kaligrafi yang bisa kita lihat di klenteng-klenteng.
Seni tersebut bisa juga mengandung unsur religius, ajaran moralitas, pengharapan, dan juga kosmologi. Terus terang, dalam komunalistik klenteng di kekinian, memang sudah banyak yang tidak mengetahui makna di balik substansi klenteng. Tidak salah memang lantaran adanya pembatasan dan pelarangan budaya Tionghoa yang melahirkan generasi yang hilang (lost generations) di era Orde Baru (Orba) dulu.
Klenteng pada masa-masa tertentu bisa menjadi pusat politik dan pertahanan, misalnya pada saat Tiongkok terpuruk dan melahirkan gerakan perlawanan terhadap dominasi Barat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Misalnya, gerakan Yihe Tuan yang lahir di Desa Li Yuan.
Di Taiwan, sudah merupakan pemandangan umum klenteng menjadi ajang kampanye politik, dan ada afiliasi politik dari para pengurus klenteng. Selain itu, pada masa kerajaan juga banyak tempat ibadah yang dinaikkan statusnya atau diberi papan nama oleh kerajaan untuk mendapat dukungan rakyat.
Dalam sejarah Tiongkok, juga banyak pemberontakan atau perlawanan yang dipicu klenteng. Satu hal yang perlu dicatat, banyak “kongsi dagang” yang memiliki klenteng dan perkumpulan-perkumpulan di daerah diaspora Tionghoa yang rata-rata memiliki altar.
Membicarakan pertahanan, klenteng tidak selalu bicara pertahanan fisik atau semacam pos ronda. Klenteng ada yang dibangun sebagai pertahanan terhadap energi buruk atau “tsar chi”, contoh yang paling sederhana adalah posisi “tusuk sate” pada sebuah bangunan, dan terkadang untuk tempat yang angker dibangun klenteng. Selain pertahanan terhadap energi buruk, banyak klenteng terutama di pedesaan menjadi pusat dan sentra komunikasi untuk melawan kegiatan terkait kebatilan.
Di kantong-kantong komunitas Tionghoa, banyak kegiatan rapat terutama yang berkaitan kepentingan umum dilakukan di klenteng. Klenteng memiliki fungsi kontrol masyarakat, karena klenteng mengandung nilai dan ajaran moral yang menjaga agar masyarakat tidak menyimpang dari kaidah, norma, serta adat istiadat masyarakat setempat.
Effendy Wongso/Foto: Effendy Wongso
Comment