MEDIAWARTA.COM, MAKASSAR – Dokumentasi tentang kaum peranakan memang sudah cukup banyak. Namun, kebanyakan dokumentasi tersebut terkait warga keturunan Tionghoa yang berada di Jawa. Sangat sedikit kajian tentang sejarah etnis Tionghoa yang hidup di luar Jawa. Apalagi, tinjauan tentang masyarakat Tionghoa Makassar.
Beberapa waktu lalu, Yerry Wirawan, penulis sejarah terkait Tionghoa, menuangkan tulisannya dalam sebuah buku bertajuk “Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar (Dari Abad ke-17 Sampai Abad ke-20)”, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (2013).
Buku setebal 309 halaman ini adalah satu di antara minimnya tulisan-tulisan yang membahas Tionghoa peranakan yang bermukim di Tanah Daeng. Melalui buku yang sejatinya adalah tesis tersebut, Yerry menggambarkan dengan detail kehidupan masyarakat Tionghoa di Makassar dari abad ke-17 hingga abad ke-20.
Mengapa masyarakat Tionghoa Makassar penting? Jawabamnya, karena mereka memiliki peran sentral saat Makassar masih menjadi pusat perdagangan di wilayah timur Nusantara. Kejayaan perniagaan abad ke-17 sampai abad ke-20 tidak bisa dipisahkan dari peran etnis Tionghoa tersebut. Bahkan, jauh sebelum Belanda bercokol di Makassar, para imigran Tiongkok sudah berperan aktif dalam perdagangan di Makassar.
Mereka menjadi pedagang perantara antara Makassar dengan Tiongkok, Makassar dengan Batavia, Banjarmasin dan pulau-pulau di timur. Selain membawa barang dari luar Makassar dan menjadi pedagang perantara, orang-orang Tionghoa menjadi pengepul dan pengorganisir perdagangan teripang, kulit penyu, dan agar-agar yang dihasilkan masyarakat lokal.
Seperti di kota-kota pelabuhan lainnya, pada mulanya orang-orang Tionghoa ini datang sebagai pedagang. Sebagian dari mereka menetap dan menikah dengan penduduk setempat. Selanjutnya, mereka membangun komunitas atau berbaur dengan masyarakat setempat. Keberadaan pedagang Tiongkok di Makassar telah ada sebelum abad ke-16. Warga Sulsel pada waktu itu menyebut Tionghoa sebagai “Sanggalea”, yang berarti “sering datang”.
Anak keturunan para pedagang yang sering datang itu kemudian menjadi pedagang lokal yang sukses. Perusahaan-perusahaan kapal yang didirikan para peranakan ini, membuat pelabuhan Makassar menjadi pusat perdagangan yang besar.
Pada mulanya, keturunan Tionghoa di Makassar banyak yang Muslim. Mereka Muslim dari asalnya di Tiongkok, dan menjadi Muslim (mualaf) karena pernikahan dengan orang Melayu atau masyarakat setempat.
Seperti diketahui, sejak 1605, Makassar telah menjadi wilayah yang di-Islamkan Mangngarangi yang bergelar Sultan Alauddin dan Karaeng Matoaya yang berganti nama menjadi Sultan Abdullah Awal-ul-Islam. Meski para peranakan ini beragama Islam, namun dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap menjaga tradisi ke-Tionghoa-annya.
Seiring kedatangan imigran dari Tiongkok yang semakin banyak, dan kekhawatiran menghilangnya budaya Tionghoa, pada pertengahan abad ke-18, para keturunan ini mulai menghidupkan kembali semangat “kembali ke tradisi Tionghoa”. Upaya untuk kembali kepada tradisi Tionghoa ini menyebabkan polemik, terpisahnya warga keturunan Tionghoa dengan warga non Tionghoa, dan perlahan menciptakan sekat dalam strata sosial.
Selain membahas panjang lebar tentang perniagaan, buku yang ditulis Yerry Wirawan ini juga mencatat tentang peran wanita peranakan di Makassar dengan cukup dalam. Ia menyampaikan, wanita peranakan yang lebih memilih berbahasa lokal (Makassar) ketimbang berbahasa Tionghoa, mempunyai peran yang cukup signifikan dalam perdagangan dan kehidupan sosial.
Tulisan tersebut, sekaligus merupakan kajian khusus tentang wanita peranakan yang sangat jarang ada dalam karya-karya yang mengulas masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Effendy Wongso/Foto: Effendy Wongso
Comment