MEDIAWARTA.COM, FUJIAN – Suasana Ramadan begitu terasa meriah saat saya masih menempuh pendidikan pesantren di daerah Probolinggo, Jawa Timur. Biasanya saat Ramadan tiba, terjadi perubahan sistem pembelajaran para santri, semua pelajaran umum diubah dengan pengajian kitab. Suara azan mengalun dari masjid-masjid dan lantunan ayat suci Alquran menggema sepanjang waktu.
Kondisi ini berbanding terbalik saat saya harus menjalankan ibadah Puasa di Negeri Panda, Tiongkok. Di sini datangnya Ramadan berbarengan musim panas panjang dan sinar matahari menyengat kulit. Suasana Ramadan tidak seperti Ramadan di Indonesia, karena di Tiongkok restoran buka leluasa dan orang bisa sembarang makan dan minum, tidak ada kumandang azan sesering di Tanah Air.
Masjid di sini jumlahnya sedikit, bisa dihitung dengan jari. Meski bergitu, di tempat ini ada satu masjid yang mengingatkan kembali saya pada kehidupan pesantren waktu masih bermukim di Probolinggo, yaitu Masjid Xiamen, Provinsi Fujian, terletak tak jauh dari Zhongshan Street.
Suasana sehari-hari Masjid Xiamen di luar Ramadan biasanya relatif sepi. Namun akan mendadak ramai kala bulan suci tiba. Para Muslim Tiongkok biasanya membaca Alquran, salat sunah, berzikir, tetapi ada juga yang tidur terlelap.
Selain orang dewasa, sering juga terlihat anak-anak kecil muslim Tionghoa yang datang ke masjid bersama orang tuanya. Mereka belajar membaca Alquran kepada Ahong (sebutan kyai dalam bahasa Mandarin).
Pernah ada pengalaman lucu saat saya berbincang dengan salah satu anak Muslim Tiongkok di masjid. Saya meminta ia untuk membacakan surat-surat pendek. Walaupun pelafalannya agak berbeda dengan Muslim di Indonesia, tetapi tetap saja bisa menyejukkan hati.
Kemudian anak tersebut meminta saya bergantian membaca surat-surat pendek, dengan senang hati saya pun membacakannya dengan metode tanpa melihat Alquran. Si anak begitu takjub melihat saya bisa melafalkan surat tanpa melihat.
Ia bertanya, apakah saya menghapalnya? Saya pun menjawabnya hanya dengan tersenyum ramah. Ia menatap saya dengan raut wajah terheran-heran, tetapi cepat menanggapinya dengan mengatakan di daerah tempat tinggal saya, menghapal surat-surat pendek Alquran sudah menjadi kewajiban.
Kemudian anak itu menganggung-anggukan kepala kembali, masih terkagum dengan hapalan saya tadi. Lepas dari hal tersebut, tempat ini sungguh bisa membuat saya merasa seakan-akan kembali ke pesantren, tetapi sayang karena jarak masjid dengan kampus yang menjadi tempat tinggal saya cukup jauh, kira-kira satu jam perjalanan dengan menggunakan bus angkutan umum, saya tidak bisa setiap hari pulang-pergi ke masjid.
Biasanya, saya datang setiap Jumat. Melawan teriknya matahari, melangkahkan kaki menuju rumah Allah adalah perjuangan yang sangat nikmat. Alasan lain memilih Jumat karena di hari ini pria Muslim diwajibkan ke masjid untuk melaksanakan salat Jumat.
Usai salat Jumat, biasanya saya berjalan-jalan ke Zhongshan Street untuk ngabuburit dan melaksanakan kegiatan buka bersama komunitas Muslim di Masjid Xiamen. Sungguh kebersamaan dengan mereka membuat saya merasa memiliki keluarga baru di negara yang juga kerap disebut Negeri Tirai Bambu.
Oleh Musyafak/Foto: Istimewa
Catatan: Penulis adalah anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok, dan mahasiswa China Huaqiao University
Comment