MEDIAWARTA, MAKASSAR – Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulawesi Selatan memproyeksikan perekonomian Sulsel tetap mencatat pertumbuhan stabil pada tahun 2026, meski berbagai tekanan eksternal diperkirakan masih membayangi.
Proyeksi tersebut disampaikan Kepala Perwakilan BI Sulsel, Rizki Ernadi Ermanda, dalam agenda Bincang Bareng Media bertema “Outlook Perekonomian Sulawesi Selatan dan Arah Kebijakan Bank Indonesia” yang digelar di Makassar, Senin (17/11/2025).
Dalam pemaparan awal, Rizki menegaskan bahwa perekonomian global saat ini berada pada fase perlambatan. Ia menjelaskan, pelemahan ekonomi Amerika Serikat, ketegangan perdagangan AS–Tiongkok, serta ketidakpastian ekonomi di kawasan Eropa dan India turut membatasi laju pemulihan dunia.
“Kita memasuki fase perlambatan global yang harus diwaspadai, karena berdampak langsung pada perdagangan dan investasi,” ujarnya.
Meski demikian, Rizki mencatat adanya sinyal positif dari Tiongkok yang mulai menunjukkan perbaikan pada triwulan III 2025 setelah pemerintah setempat menggulirkan stimulus fiskal.
Secara agregat, pertumbuhan ekonomi global 2025 diproyeksikan mencapai 3,1 persen, sedikit lebih tinggi dibanding perkiraan sebelumnya. Namun volatilitas pasar keuangan masih tinggi seiring ketidakpastian arah kebijakan suku bunga The Fed.
Di tingkat nasional, ekonomi Indonesia pada triwulan III 2025 tumbuh 5,04 persen (yoy), melambat dari triwulan sebelumnya.
Rizki mengungkapkan bahwa penurunan kinerja ekspor dan konsumsi rumah tangga menjadi faktor utama perlambatan, sementara konsumsi pemerintah masih menjadi penopang.
“Fundamental ekonomi kita tetap kuat, namun tekanan eksternal perlu dicermati,” jelasnya.
Untuk wilayah Sulawesi Selatan, BI menilai pertumbuhan ekonomi tetap berada pada tren positif dan stabil di kisaran 4,9–5,7 persen sepanjang 2025. Industri pengolahan serta sektor perdagangan menjadi kontributor utama, disusul konstruksi yang terus menunjukkan kinerja menguat.
“Sulsel terus menunjukkan ketahanan ekonomi yang baik, terutama sebagai pusat aktivitas ekonomi di Kawasan Timur Indonesia,” tutur Rizki.
Dari sisi inflasi, BI mencatat inflasi Sulsel pada Oktober 2025 berada di level 0,10 persen (mtm), berbalik dari deflasi pada bulan sebelumnya. Secara tahunan, inflasi tercatat 3,35 persen (yoy), masih berada di bawah target indikatif nasional. Kenaikan harga emas perhiasan, cabai merah, dan sejumlah komoditas pangan menjadi pendorong inflasi.
“Pengendalian inflasi kita cukup terjaga, berkat sinergi TPID dan distribusi pangan yang relatif lancar,” tegasnya.
BI juga menyoroti perkembangan nilai tukar rupiah. Per 21 Oktober 2025, rupiah menguat ke posisi Rp16.585 per dolar AS atau meningkat 0,45 persen dibanding akhir September 2025. Cadangan devisa Indonesia tercatat sebesar 148,7 miliar dolar AS, setara pembiayaan impor 6,2 bulan.
“Kondisi ini menunjukkan ketahanan eksternal kita tetap solid,” jelas Rizki.
Selain itu, BI memaparkan tantangan investasi nasional, mulai dari regulasi yang belum efisien, koordinasi antarlembaga, hingga hambatan infrastruktur. Indonesia berada di peringkat 40 dunia berdasarkan indeks daya saing terbaru.
Meski begitu, Rizki meyakini Sulsel memiliki peluang besar menarik investasi tambahan.
“Hambatan sosial dan infrastruktur perlu terus ditekan untuk memaksimalkan potensi daerah,” katanya.
Menutup paparannya, Rizki menegaskan bahwa BI akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah.
“Kita optimistis perekonomian Sulsel akan tumbuh stabil pada 2026, selama sinergi antara pemerintah daerah, BI, dan pelaku usaha terus dijaga,” pungkasnya.

Comment