Tax Amnesty, Lalu Apa?

Priyantarno Muhammad

Tax Amnesty, Lalu Apa?

Oleh Priyantarno Muhammad

Akhirnya Presiden Joko Widodo buka suara juga tentang pentingnya RUU Tax Amnesty yang diajukan pemerintah untuk segera disahkan DPR. Undang-Undang Tax Amnesty perlu diaplikasikan guna membangun pola pembangunan yang dianut pemerintah saat ini, penerimaan berbasis pengeluaran.

Melalui hal tersebut, pemerintah merencanakan dulu pengeluaran, baru kemudian penerimaan. Dengan pola seperti ini, mau tidak mau pajak menjadi tulang punggung utama. Penerimaan pajak mesti optimal sehingga pengeluaran, khususnya pembangunan infrastruktur dapat terus berjalan.

Bagaimana jika penerimaan negara tidak tercapai? Belajar dari tahun-tahun sebelumnya, pemerintah biasanya akan melakukan peminjaman utang luar negeri, penjualan surat utang negara (SUN) atau yang teranyar mengundang pihak luar untuk investasi demi kepentingan publik. Sudah barang tentu, semua ini akan bermuara pada deal-deal politik tertentu yang adalah bohong besar jika tidak mengurangi kedaulatan kita dalam menentukan langkah politik sebagai bangsa yang merdeka.

Tax amnesty itu apa? Dari beberapa sumber media, dapat dijabarkan Tax Amnesty atau Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah sebuah tawaran atau jualan pemerintah kepada orang-orang kaya yang merupakan WNI, namun sayangnya lebih memilih menyimpan uangnya di negara tetangga.

Menurut Direktur Direktorat Penyuluhan, Pelayanan Humas Direktorat Jenderal Pajak, Mekar Satria Utama dalam pernyataannya beberapa waktu lalu di media online, mengungkapkan ada sekitar Rp 3.000 triliun-Rp 4.000 triliun dana WNI di luar negeri. Jualan yang ditawarkan pemerintah, jika mereka menarik kembali dananya yang berada di luar negeri, atau melaporkannya maka akan dikenakan tarif tebusan yang lebih rendah ketimbang tarif pajak penghasilan pada umumnya.

Bagi pemerintah, hal ini menguntungkan karena adanya dana segar yang masuk ke Indonesia. Bagi wajib pajak, ini berarti menyelamatkan mereka dari keterbukaan rahasia perbankan pada 2017. Hal ini disebabkan karena dunia perbankan memasuki era baru yang disebut Automatic Exchange System of Information (Sistem Pertukaran Informasi Otomatis) yang menyebabkan data kerahasiaan bank dapat diakses negara manapun, sehingga dengan melaporkannya sendiri maka wajib pajak bisa kena tarif tebusan pajak penghasilan yang lebih kecil.

Lalu apakah Tax Amnesty akan mampu menjadi penopang kekuatan penerimaan negara dalam bidang perpajakan? Tax Amnesty hanya sebuah langkah awal, strategi ini mungkin akan bisa bertahan tiga hingga lima tahun ke depan. Namun, selebihnya Direktorat Jenderal Pajak mesti menjadi otoritas yang sanggup menjadi penopang pengeluaran negara. Ada beberapa cara yang mesti ditempuh pemerintah jika benar-benar ingin menguatkan penerimaan negara dari sektor pajak.

Pertama, Revisi Undang-undang Perbankan. Dalam Undang-undang perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pasal 41 ayat (1) memang untuk kepentingan perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak dapat melihat data perbankan, namun ini hanya untuk wajib pajak yang sedang dalam pantauan khusus. Itu pun melalui permohonan berjenjang dari Direktur Jenderal Pajak kepada Menteri Keuangan lalu kepada pimpinan Bank Indonesia (BI).

Menteri Keuangan dalam pernyataannya di depan petugas pemeriksa pajak, 8 Maret 2016, menyatakan hanya 900 ribu orang pribadi usahawan yang bayar pajak dengan nilai Rp 9 triliun. Bisa kita bayangkan berapa banyak potensi yang menguap begitu saja.

Untuk mengatasi hal ini, secara cepat pemerintah dan para wakil rakyat yang peduli terhadap kedaulatan ekonomi negara, mesti bergerak cepat melakukan revisi. Sehingga, data bank seluruhnya dapat diakses Direktorat Jenderal Pajak, karena dengan begitu maka wajib pajak yang selama ini menyembunyikan omsetnya akan segera merogoh sakunya demi penerimaan negara.

Kedua, saatnya bermain keras. Pajak adalah pungutan kepada warga negara yang sifatnya memaksa, dan hal itu yang belum terlalu kuat dalam masyarakat kita. Tahun 2015 sebagai Tahun Pembinaan Pajak telah berlalu, sekarang mestinya Direktorat Jenderal Pajak sudah berani memproklamirkan diri sebagai Tahun Penegakan Hukum Pajak. Hal ini perlu untuk memberishock therapy kepada wajib pajak nakal.

Tentunya tindakan-tindakan penegakan hukum ini melalui bukti-bukti yang jelas, dan apabila pemerintah dan anggota dewan berani melakukan tindakan revisi UU Perbankan, maka tindakan hukum ini dapat semakin kuat dan luas.

Ketiga, membentuk lembaga pajak yang kuat. Tindakan-tindakan penegakan hukum yang kuat, jelas harus didukung terbentuknya lembaga pajak yang kuat. Baik dari segi pengelolaan sumber daya manusia (SDM) maupun teknologinya.

Dari ketiga langkah tersebut, di situlah kita dapat melihat posisi pemerintah dan wakil rakyat, apakah berpihak pada kedaulatan negara dari segi ekonomi, atau kepada pengusaha nakal yang menguasai aliran dana untuk mengusai republik ini lewat invisible hand yang mereka miliki.

Saya yakin, kita mencintai bangsa ini dan ingin melihat Indonesia menjadi bangsa yang indah dan kuat untuk kita titipkan kepada anak-anak kita. (*)

Penulis: Pegawai Direktorat Jenderal Pajak RI

Catatan: Tulisan merupakan pandangan pribadi, bukan pandangan instansi atau lembaga apapun.

Comment