Yuk, Ngopi di Jalan Serui Pecinan Makassar

HAI HONG - Di Jalan Serui, salah satu kawasan Pecinan Makassar, ada sebuah warung kopi yang telah berdiri sejak 1940-an, namanya Hai Hong yang berarti Samudra Merah.

MEDIAWARTA.COM, MAKASSAR – Ihwal pemberian nama salah satu jalan yang masuk dalam kawasan Pecinan Makassar, Jalan Serui, tidak lain adalah untuk mengenang pergerakan kebangsaan di Makassar dan Serui, Kepulauan Yapen, Papua, sebagaimana yang termaktub dalam tinta emas sejarah Indonesia, khususnya pada 15 April -17 Juni 1946.

Pada saat itu, Gubernur Sulawesi, DR Sam Ratulangi bersama enam orang rekan seperjuangannya dipenjarakan di Hoge Pad Weg, Makassar, lalu dibuang ke Serui. Ketujuh tokoh pergerakan kebangsaan tersebut antara lain Lanto Daeng Pasewang, Joseph Latumahina, Intje Saleh Daeng Patompo, Pondaag, Suwarno, dan Tobing yang dibuang ke Serui pada era pendudukan Hindia Belanda.

Para tokoh ini diangkat menggunakan pesawat Catalina pada 18 Juni 1946 silam. Sementara, keluarga lainnya tiba dengan menggunakan kapal laut. Oleh karena itu, Jalan Serui ini senantiasa menjadi kenangan tersendiri dan menjadi saksi bisu sejarah kota terkait perjuangan tokoh pergerakan kebangsaan masa lalu.

Masyarakat yang tinggal di jalan ini mayoritas Tionghoa. Meskipun jalan tersebut tidak seramai jalan-jalan lainnya yang ada di kawasan Pecinan seperti Jalan Sulawesi, Somba Opu, dan Sangir, tetapi nuansa peninggalan kolonial Belanda-Tionghoa masih sangat terasa di kawasan ini.

Jika Anda menyusuri jalan Serui, dapat dijumpai sejumlah bangunan tua bahkan bangunan-bangunannya ada yang digunakan sebagai tempat usaha seperti warkop, toko komputer, salon, toko kue, rumah bernyanyi, serta gerai-gerai lainnya.

Bahkan di kawasan Pecinan ini, ada sebuah warung kopi yang telah berdiri sejak 1940-an, namanya Hai Hong yang berarti Samudra Merah. Setiap hari, Hai Hong ramai dikunjungi warga Tionghoa yang ingin menyeruput secangkir kopi yang khas.

Tak hanya itu, sejumlah bangunan tua berarsitektur Belanda masih dapat terlihat di sepanjang jalan ini. Secara fisik, bangunan-bangunan tua tersebut sudah tak layak dihuni, dan hanya meninggalkan dinding-dinding kusam yang sudah berlumut.

Sebenarnya, tidak banyak sentuhan modern yang terbangun di Jalan Serui ini, faktornya tidak lain karena sempitnya area jalan yang hanya dapat dilalui satu poros kendaraan. Juga hanya terdapat wisma dan tempat usaha reguler lainnya yang tampil sebagai pembeda di antara bangunan tua peninggalan kolonial Belanda tersebut. Bila malam, jalan ini praktis sepi dan sunyi.

Comment