Aroma Syahwat dari Lorong-lorong Prostitusi di Geylang Singapura

MEDIAWARTA.COM, SINGAPURA – Sejak Stamford Raffles menjejakkan kolonialisasinya di Singapura pada 1819, potensi prostitusi di Geylang sudah mulai terlihat. Aroma syahwat yang dimulai dari mengalirnya pendatang yang kebanyakan pria, berkembang tak terbendung. Para wanita penjaja cinta mulai memenuhi lahan-lahan yang mulanya dikenal sebagai area syahbandar.

Menyambangi Negeri Patung Merlion ini, MediaWarta.com, Kamis (31/3/2016), mencoba menelusuri lorong-lorong semimodern di Geylang. Semimodern, karena hampir sepanjang lorong yang lebih dikenal sebagai Lor, aneka bangunan baru, kebanyakan hotel dan condotel, berdiri serta berbaur dengan rumah-rumah tua yang kebanyakan dihuni etnik Tionghoa dan Tamil (India) Singapura.

Dimulai dari Lor 6, sekitar pukul 17.00 waktu setempat, beberapa pekerja seks komersial (PSK) sudah mulai terlihat berbaur dengan tamu-tamu yang memenuhi restoran kecil yang bertebaran di sana. Kondisi serupa dapat ditemui di Lor-lor berikutnya hingga Lor 21.

Prostitusi bukan pelanggaran di Singapura, tetapi merupakan pelanggaran hukum jika menjajakan diri di depan umum, baik PSK maupun mucikari para PSK yang berlaku sebagai induk semang mereka, yang hidup dari pendapatan PSK. Sehingga, itulah alasan PSK dan mucikari berbaur dengan tamu di restoran maupun kafe sepanjang Geylang Road.

Tipikal PSK freelancer di Geylang rata-rata berusia tidak muda lagi, sekitar 26 tahun. Dari investigasi Straits Times, salah satu media lokal Singapura, mereka dapat melayani empat klien per hari. Adapun harga tarif kencan pendek (short time) sekitar 30 menit, rata-rata dibanderol 70 dolar Singapura ke atas. Ini di luar tarif sewa hotel di Geylang.

Jika dikalkulasi, pendapatan PSK freelancer ini bisa mencapai sekitar 3.200 dolar Singapura per bulan setelah dikurangi sewa tempat dan biaya lainnya.

Para pelancong yang memang sengaja datang untuk berwisata malam di Geylang, secara umum diminta membayar dengan harga variatif. Artinya, PSK-lah yang menentukan harganya sesuai kesepakatan dengan pelanggannya.

Wisatawan asing asal Eropa dan Amerika Serikat (AS), biasanya diminta untuk membayar 81 dolar Singapura untuk short time, sementara wisatawan Tiongkok (Tionghoa) akan dikenakan biaya 69 dolar Singapura. Sementara, untuk wisatawan India atau Bangladesh membayar terendah 44 dolar Singapura karena mereka dipandang kurang kaya. Beberapa PSK juga berhak menentukan, apakah akan menemani mereka kencan atau tidak. Beberapa di antaranya memilih untuk tidak memiliki klien India dan Bangladesh karena alasan tadi.

Straits Times mengungkap, dari sisi gelap terkait pelacuran ilegal (dianggap ilegal karena tidak memiliki izin bekerja dan rumah bordil tempat bernaung), para PSK ini secara tidak langsung telah mempraktikkan diskriminasi dalam pasar konteks lain.

Adapun entitas mereka berasal dari Tiongkok, Vietnam, Thailand, Filipina, India, dan Indonesia. Para PSK freelancer tidak berbasis di rumah bordil. Banyak yang datang ke Singapura sebagai turis, juga bekerja sambilan sebagai pembantu rumah tangga (PRT).

Effendy Wongso/Foto: Effendy Wongso

Comment