Karebosi, Antara Sejarah dan Mistis

Lapangan Karebosi Saat di pakai Shalat Idul Fitri

Misteri Tujua Ri Karebosi

Kisah-7-Kuburan-di-Lapangan-Karebosi-2-oleh-SegiEmpat
Makam Tujua di Karebosi

Tujui saribattang salapangi silasukkang ruaya ni tarekapi nanigappa sabba ia ammantang ri tassere-serea ammiliki alanga lolong bonena. Annang burane sere baine, bainea buranne tongi, ia bungko ia tongi ulua, Pagawena karebosi lomoro serea.

Nipattangnanganko sallang kadera tuju batunna ri Karebosi, annang kaboneang, sere kosong, nia sallang abbara-barrasa, urusangi na cica, iamintu kosong kaderana, saba tunai na kamase.

Mingka punna nuassengji karaengnu ribatangkalennu salama makontu. Cilakako punna nu onjoki Karebosi. Tau upa ammantanga ri Ballana amempo-mempo, lanri naissengna kalenna, naisseng karaenna. Lana sareko sallang Barisallangna Sitti Fatimah, sahada simula-mulannapa linoa nubaliangi nanatarima, lanisuroko sallang assahada assahadako ribunoinjako, tasahadako nibunoinjako.

Lanikutanangko sallang tau battu kemaeko, kemaeko lassu, kemaeko ammantang, inai mpaparekangko balla, inai mantang, siapa bentengna, siapai padaseranna ballanu, siapa sulapana balannu, siapai panyingkuluna ballanu, inai lalang dudu, inai ri lasatangana, inai pantara dudu, inai imannu, assambayang jako, addalekemaeko punna sambayangko, inai imannu, paui tojeng-tojeng Imannu.

Lanisuroko sallang anjojo karaeng, lani suro tongko sallang anjojo banderana karaengnu.

Inai-nai tangissengai banderana karaengna, tangissengai karaengna, lani erangi sallang ri Karebosi ammile sala serenna nijojo, kalani pattannangko salllang bandera sampuloanrua rupanna, talluji bandera lamantang ri sulawesi sallatang, salapang bandera lamae riluar negeri, nia lamange ri butta Cina, Butta Balanda, Butta Jawa, Butta Japang.

Iaji Anjo lammantang ri Sulawesi Sallatang Bnaderana Tau lu ka, tau bonea na tau Gowaya. Kajappui karaennu baji-baji punna eroko salama.

Ia mami sallang tau rangranga ri ada, ingaka ri kuntu tojeng, Tau jarreka ri papasangna tau toana la salama, Jai-jaina taggalaki pappasanga, jai-jaina salama, kurang-kurangna tanggala papasanga, kurang-kurang salama. Punna tena antaggalaki Pappasangna tau toana, Linoa ancuru, insaalla Tumbangi bawakaraeng, Tallangi jumpandang .

Begitulah bunyi dari ramalan Tujua Ri Karebosi. Banyak misteri yang tersimpan dan membuat banyak orang penasaran untuk menguak kebenarannya. Tidak ada data yang akurat mengenai siapa-siapa sesungguhnya yang dikebumikan pada 7 makam di Lapangan Karebosi tersebut. Ada yang menyebutnya sebagai makam Angrong Pandegara suhu para pendekar silat yang juga merupakan murid dari pengikut ajaran tarekat Syekh Yusuf. Mereka disebut-sebut mengembangkan ajaran silat yang dikuatkan dengan ilmu kebatinan. Itulah sebabnya pada masa-masa silam para guru silat di Kota Makassar dan sekitarnya selalu melakukan proses penamatan di sekitar lokasi ke 7 makam yang berjajar utara selatan di tengah Lapangan Karebosi.

Banyak sumber juga menyebut 7 makam di tengah Lapangan Karebosi sebenarnya bukan makam tetapi awalnya hanya berupa tujuh gundukan tanah tempat makhluk gaib berperangai garang yang sering mengganggu kehidupan manusia pernah menampakkan diri. Ada yang menyebut ketujuh makhluk gaib sebangsa jin itu, masing-masing bernama Kareng Tu Mabellayaa, Karaeng Tu Mabbicarayya, Karaeng Tu Maccinika, Karaeng Bainea, Karaeng Tu Nipalanggayya, Karaeng Tu Apparumbu Pepeka, dan Karaeng Tu Angngerang Bosia.

kuburan2
Banyak Orang Pergi Ziarah ke Makam Tujua

Bangsa jin yang disebut-sebut telah ratusan tahun memilih tempat mukim di area Lapangan Karebosi lantas melarikan diri setelah masuknya tiga ulama besar Islam asal Sumatera pada abad XVII ke Kota Makassar. Mereka adalah Abd.Makmur Khatib Tunggal yang kemudian di Sulawesi Selatan dengan panggilan Datok ri Bandang, Abdul Jawab Khatib Bungsu (Datuk di Tiro), dan Sulaiman Khatib Sulung (Datok Patimang).

Sejak jaman Belanda Tujuh makam di Lapangan Karebosi akrab disebut sebagai Kubburu Tujua oleh orang-orang di Kota Makassar dan sekitarnya. Dari banyak cerita kesurupan yang pernah terjadi di Kota Makassar antara tahun 70 80-an, dalam keadaan tak sadar banyak pesakitan sering berteriak dengan menyebut-nyebut nama sebagai Tujua dari Karebosi. Sampai tahun 90-an, masih banyak orang selalu datang ke Makam Tujua menabur bunga pada hari-hari tertentu. Termasuk sejumlah orang sering melepas ayam berbulu hitam atau putih di sekitar makam.

Tak ada yang tahu asal muasal ketujuh orang itu. Namun, rakyat Gowa saat itu percaya kalau mereka adalah tomanurung (semacam dewa dalam mitologi Bugis Makassar) yang dikirimkan oleh Tuhan untuk negeri mereka. Kehadiran tujuh orang yang disebut sebagai Karaeng Angngerang Bosi atau Tuan yang Membawa Hujan, pun menginspirasi rakyat Gowa saat itu untuk memberi nama hamparan yang kemudian mereka jadikan sebagai sawah kerajaan itu. Jadilah nama Kanrobosi diberikan pada sawah itu. Kanro berarti anugerah yang Maha Kuasa dan bosi berarti hujan atau bisa juga bermakna kelimpahan.

Seiring berjalannya waktu, berziarah ke tujuh kuburan itu dianggap sebagai salah satu warisan tradisi penghormatan masyarakat dan penguasa setempat kepada tujuh tokoh yang diperkirakan turun dari langit tersebut. Pada saat H.M. Daeng Patompo menjabat sebagai Wali Kota Makassar pada 1965-1978, tujuh kuburan itu sempat ditutup. Namun beberapa orang yang percaya akan mitos ketujuh kuburan itu memugarnya kembali.

Mitos yang diyakini sebagian orang itu mengatakan, bahwa ketujuh tokoh tersebut akan turun lagi ke bumi suatu ketika nanti. Namun, seperti kedatangan mereka semula, akan ada pula kondisi tak menentu yang mendahuluinya. Bahkan keadaan itu telah digambarkan di dalam Lontara dengan kata-kata: jarangji na kongkong sikokko na sitindang, ganca-gancamo cera’. “Hanya kuda (yang merupakan simbol penguasa) dan anjing (sebagai simbol penentu kebijakan), saling gigit dan tendang hingga akhirnya terjadi pertumpahan darah,”

Comment