Arwah di RS Dutch Ziekenhuis

Gadis berkerudung putih itu muncul seperti biasa. Sepasang mata birunya menatap lunak, seperti serum yang mengeradiksi jutaan virus tifus di ususnya. Seperti halnya Ev Jeanette van deer Wijk, gadis itu memang sebaik bidadari. Disyukurinya rahmat Ilahi, menghadirkan dua sosok serupa malaikat berhati putih.

“Hai….”

Gadis itu duduk takzim seperti biasa setelah menyapa. Mengukur tensi suhu badan Joan di dahi dengan telapak tangannya yang dingin. Menyentuh pipinya yang tirus kemudian.

“Sudah mendingan.”

“Kapan aku dapat pulang, Suster Carol?”

Wajah suster muda itu sontak babur. Sebuah penggambaran jelas tentang ketidakrelaan. Ia menggigit bibirnya.

“Dua hari lagi kamu pasti bisa pulang.”

“Suster Carol kenapa?”

Gadis itu membeku. Kepalanya menekuk dada. Joan menatapnya dengan rupa mafhum. Ia tahu bagaimana rasanya perpisahan.

“Suster Carol jangan sedih begitu, dong. Kita kan masih bisa ketemu lagi. Tapi, bukan di sini. Tentu saja aku tidak ingin menemui Suster Carol di tempat ini. Heh, Suster Carol pikir enak apa jadi orang sakit?”

Suster muda itu mengurai simpul bibir, berusaha mengakuri guyonan itu seba­gai penawar sakit hati. Diteruskannya menunduk, bentuk ritualnya yang karib. Dibenturkannya sepasang matanya ke lantai putih, menghitung serabut hari berupa detik yang bakal jadi pemisah dua hati.

“Tapi….”

“Aku tahu, Suster Carol pasti sedih kalau aku pulang. Aku juga sedih, Suster Carol! Tapi, tidak mungkin kan aku terus menerus terbaring di rumah sakit ini? Kita bisa bertemu kapan dan di mana saja. Aku yang ke rumah Suster Carol, atau Suster Carol yang ke rumahku.”

“Aku tidak memiliki rumah!”

Joan refleks tersenyum. Dipandanginya lamat gadis berseragam putih-putih itu. Ia pasti sedang berguyon.

“Hei, sejak kapan Suster Carol bisa bercanda begitu? Setiap hari wajah Suster Carol murung. Pucat seperti tembok. Sekarang….”

“Betul. Aku tidak memiliki rumah!”

“Jadi, Suster Carol tinggal di mana?”

“Di rumah sakit ini.”

“Oh, maksud Suster Carol, di asrama perawat di ujung selatan sana, kan?”

Suster muda itu kembali membeku. Tidak ada anggukan sebagai jawaban. Ia membisu seperti biasa. Tak terasa ada airmatanya menitik!

“Sus-Suster Carol menangis?!”

“Mereka semua meninggal!”

“Siapa?!”

“Keluargaku! Mereka semua dibantai tentara Dai Nippon!”

Joan kemekmek. Ia mengernyit dengan rupa tak mengerti. Gadis itu jadi aneh. Kalimatnya ngawur!

“Suster Carol ngomong apa sih?!”

Joan mengenal Caroline Nathaniel Verbruggen dua hari setelah ia dirawat di rumah sakit ini. Salah satu perawat rumah sakit itu selalu datang menjenguknya pada malam hari. Saat semua penghuni rumah sakit terlelap dibuai inang mimpi, selepas malam pada saat dini hari menjelang, maka dia akan datang menemani Joan. Merawat dengan telaten, membantu melayani ia minum obat, dan juga menungguinya sambil bercerita. Bercerita tentang apa saja. Kadang-kadang ia mendongeng tentang tokoh batil penyihir dari masa lampau, juga cerita-cerita rakyat dari Negeri Kincir Angin.

Tapi ia paling senang bercerita tentang negeri khatulistiwa bernama Nederlands Indisch (Hindia Belanda), kini Indonesia. Juga tentang keindahan pesisir pantai di Moluccas (Maluku), salah satu pulau di negara beriklim tropis itu. Tempat di mana moyang Joan beranak-pinak. Sekarang daerah itu bernama Maluku. Bagian dari Republik Indonesia. Ribuan mil jauhnya dari Amsterdam. Salah satu negara yang terletak di Asia Tenggara.

Namun, sekarang gadis yang kurang lebih berumur dua tahun lebih tua darinya itu mulai berubah menunjukkan sikap debil. Makna kalimatnya tak terpahami. Intensitas labil yang konstan menyertai tingkah misteriusnya.

“Api membakar semuanya! Api melalap semuanya! Tidak ada yang selamat! Mereka semua terpanggang!”

Joan menghela napas panjang. Alam pikirannya babur. Sama sekali tidak mampu menerjemahkan bahasa suster muda itu di dalam benaknya.

Ia termangu lama sampai suster muda itu menghilang di balik pintu bangsalnya.

Comment